“Cancelling” merupakan fenomena seseorang dapat diprotes atau diboikot karena kesalahan masa lalu yang pernah diperbuat. Cancelling bermacam-macam bentuknya, mulai dari:
- memblokir suatu akun,
- berhenti mengikuti akun social media seorang selebriti internet,
- “menyerang” lewat kolom komentar, hingga
- re-tweet suatu kasus atau pemberitaan -terkait seorang selebriti internet- agar semakin tersebar diketahui publik luas
- Boikot (yang terbaru adalah boikot terhadap film terbaru Abidzar)
- Blacklist (misalnya ayu ting-ting dan saipul jamil yang pernah menjadi objek petisi online)
Pada awalnya, cancelling yang membudaya (“cancel culture”) merupakan wujud sanksi tegas netizen pada seorang public figure. Di antaranya adalah dengan membuat seseorang tersebut merasa malu di social media.
Namun, kemudahan teknologi informasi dan kebebasan berekspresi bisa jadi dimanfaatkan oleh netizen untuk melakukan cancelling pada individu tertentu –dengan tujuan mempermalukan seseorang– alih-alih memfokuskannya pada permasalahan.
Novita Ika Purnamasari (2022) pernah menuangkan risetnya dengan tajuk “Dilema Ruang Publik dan Kuasa Netizen). Temuan dari riset tersebut adalah bahwa pengguna social media dengan latar belakang pernah mengenyam bangku kuliah cenderung akan lebih melakukan cancelling atas perbuatan-perbuatan tidak bermoral, maupun tidak etis. Dengan kata lain, netizen melakukan social control.
Daftar Isi
Social Control
Netizen memandang diri mereka memiliki kekuasaan untuk memberikan atau menarik suatu dukungan. Dalam hal ini, kekuasaan tersebut digunakan untuk melakukan kontrol secara sosial, khususnya kepada seseorang yang tindakannya telah viral di jagat maya.
Upaya Mengkoreksi
Cancelling ini bisa kita lihat juga sebagai upaya mengkoreksi dari selebriti yang sedang diterpa isu tidak sedap. Netizen berasumsi bahwa selebriti yang sudah barang tentu dikenal publik, maka dianggap pula sebagai tokoh yang wajib memberikan tindakan-tindakan baik sebagai contoh untuk ditiru. Tidak heran netizen mengharapkan adanya permohonan maaf, atau minimal klarifikasi atas isu immoral/unethical yang sedang viral sebagai pembuktian adanya tanggung jawab tersebut.
Pertanggungjawaban
Palmer (2020) mengungkap bahwa pada konsep ruang publik dan masyarakat yang berjejaring, social media tidak hanya sebagai ruang menyebarkan informasi, tetapi juga menjadi arena di mana netizen meminta pertanggung jawaban atas tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma.
Hingga figur publik tersebut melakukan atau menyediakan pembuktian, maka netizen biasanya menunjukkan kekuasaannya dengan melakukan cancelling pada akun public figure tersebut. Bentuk lain dari pertanggungjawaban adalah dengan memohon maaf di social media (sebagai ruang publik) sembari mengharapkan tidak ada yang mengulangi perbuatan tersebut lagi.
Mendapatkan Keadilan
Cancel Culture juga bisa dilihat sebagai upaya-upaya digital untuk mendapatkan keadilan khususnya bagi penyintas ketidakadilan. Lewat cancel culture, penyintas ketidakadilan dapat bersuara lebih lantang dan mencari dukungan untuk “menyerang” mereka yang dirasa menyebabkan ketidakadilan. Netizen juga makin selektif dan kritis dalam bertindak secara kolektif tatkala mendukung penyintas ketidakadilan.
Yang Perlu Dikhawatirkan
Yang perlu dikhawatirkan adalah kelompok netizen yang sekedar “ikut-ikutan”. Bisa jadi kelompok ini belum memiliki penalaran kokoh yang menjadi dasar melibatkan diri ke dalam tindakan cancelling tersebut. Perilaku tanpa logika kuat ini bisa berubah menjadi tindakan “main hakim sendiri” secara berkelompok di social media. Paling sering adalah “menyerang” di kolom komentar.
Di sisi lain, cancel culture sebagai wujud ekspresi reaktif berpeluang menyerang subjek cancelling yang salah. Benar atau salah ini yang dinamika dan diskursusnya terus berjalan. Jagat maya kita perlu diisi dengan lebih banyak konten yang menunjukkan koridor-koridor moral dan etis dalam berbuat.
Kesimpulan
Dengan adanya cancel culture, kita mengharapkan artis maupun public figure lainnya akan lebih berhati-hati dalam bersikap atau bertindak, sebab netizen bukanlah penonton pasif yang menerima paparan konten begitu saja –meskipun dalam konteks bercanda sekalipun. Netizen mengharapkan agar perilaku yang tidak patut tidak bertambah viral apalagi sampai mendapat pemakluman lebih jauh oleh masyarakat.