HKI atas Produk Digital

Post ini adalah nomor 19 dari 19 dalam serial Digital Citizenship

Produk-produk digital telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari karena kemampuannya dalam mengungkit kehidupan kita ke tingkat yang lebih tinggi. Format digital -dengan salah satu karakteristiknya yang mudah disebar-luaskan- membuat kemampuan akses kita menjadi jauh lebih luas.

Di sisi yang berseberangan, ada kekhawatiran bagi digital creator akan “pencurian” terhadap karya digital yang telah mereka buat. Di antara yang potensial untuk disebar-luaskan tanpa izin penciptanya adalah: perangkat lunak, algoritma, desain (produk) industri, dan lain sebagainya.

Di sinilah kita semua perlu untuk memahami bahwa peraturan seperti Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dibuat untuk melindungi para digital creator, baik untuk apresiasi terhadap karya yang telah dibuat, maupun nilai-nilai ekonomi yang menjadi hak mereka.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Perlindungan HKI di era digital sangat penting untuk menjaga inovasi dan kekayaan intelektual dari pelanggaran, sekaligus mendorong kemajuan global secara aman.

HKI juga berfungsi sebagai alat untuk memastikan kompetisi yang sehat, memberikan insentif kepada inovator, dan memajukan perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy).[1]

Bentuk perlindungan HKI dapat berupa paten, hak cipta, merek dagang, dan desain industri.

  • Paten: Melindungi inovasi dan penemuan teknologi yang baru.
  • Hak Cipta: Melindungi karya seni, musik, literatur, dan konten digital lainnya.
  • Merek Dagang: Melindungi identitas merek yang unik, seperti logo atau nama yang digunakan dalam perdagangan.
  • Desain Industri: Melindungi aspek visual atau desain dari suatu produk yang memiliki aplikasi komersial.[1]

Mengingat mudahnya karya digital didistribusikan melalui jaringan internet, pemilik HKI pun perlu senantiasa lebih waspada dalam melindungi hak-hak mereka.

Lihat juga: Digital Rights and Responsibilities

Alih Bentuk ke Format Digital

Karya cipta berupa program komputer, sinematografi, fotografi, database dan karya hasil pengalihwujudan yang perlindungannya berlaku selama masa hidup penciptanya ditambah 70 tahun lagi setelah pencipta dimaksud meninggal dunia.[2]

Permasalahan yang muncul pada saat ini adalah bagaimana alih bentuk karya cipta ke bentuk (format) digital. Terkadang hal ini menimbulkan interpertasi berbeda-beda termasuk pelanggaran hak ciptanya. Ketika lagu atau musik yang sebelumnya didapatkan dalam bentuk kaset atau keping cakram (CD), maka bagaimana statusnya jika telah menjadi format MP3 atau MP5. Apakah tetap dapat dikategorikan karya cipta lagu atau karya cipta program komputer?

Perbanyakan suatu program komputer (software) untuk digunakan oleh orang lain merupakan suatu pelanggaran hak cipta. Penegakan hukum atas pelanggaran tersebut akan memberikan manfaat berupa kepastian hukum bagi investor asing dan daya tarik serta rangsangan bagi investasi di sektor industri TIK.

Hak Cipta / Copyright

Ada informasi yang menarik bagi saya. Fakta bahwa negara-negara Eropa memiliki cara pandang yang berbeda dengan Amerika Serikat (AS) dalam memandang “hak cipta”[2].

Negara-negara Eropa menganut hak cipta sebagai suatu hak moral (moral right), alias hak dasar untuk menciptakan sesuatu. Ini terkait dengan koneksi personal antara pencipta dengan ciptaan serta reputasi yang dikaitkan dengan karya tersebut [3].

Sementara negara AS memahami hak cipta sebagai suatu hak ekonomi (economic right), yaitu hak untuk mendapat keuntungan ekonomi dengan mengeksploitasi karya ciptaan. Hak cipta diartikan sebagai invention right atau authors’ right bukan sebagai copyright (right to copy, alias hak untuk memperbanyak).

Jadi, hak cipta dengan corak moral right memberikan suatu pengakuan yang luhur bagi karya-karya ciptaan. Yang sering menjadi pertanyaan di berbagai negara adalah, “Berapa lama pengakuan atas hak moral tersebut kepada seseorang yang mencipta?” Di atas sudah disebutkan bahwa di Indonesia, pengakuan atas hak moral berlangsung selama masa hidup pencipta tersebut ditambah dengan 70 tahun sejak pencipta tersebut meninggal dunia. Demikian menurut UU No.28 tahun 2014 pasal 58 ayat 1.

Jika saya tidak salah memahami, pencipta lagu memiliki hak moral atas karya cipta. Namun, lagu yang diproduksi dengan bantuan produser atau studio rekaman (recording studio), bisa jadi copyright-nya (yaitu hanya untuk memperbanyak atau mendistribusikan) dimiliki oleh produser atau studio tersebut.

Baca juga soal “Kepemilikan Bersama Sebuah Lagu“.

Digital Rights Management (DRM)

Digital Rights Management (DRM) adalah teknologi yang membatasi cara konten digital dapat digunakan, seperti membatasi jumlah perangkat yang dapat mengakses file atau mencegah pengunduhan tidak sah. DRM bertujuan untuk melindungi hak cipta dan mencegah pembajakan konten digital. 

DRM merupakan salah satu upaya global untuk melindungi HKI. Upaya-upaya tingkat global lainnya seperti perjanjian internasional semisal Patent Cooperation Treaty, kampanye membangkitkan kesadaran global seperti World Intellectual Property Day pada 26 April.[1]

Perlindungan HKI untuk masa depan inovasi. Paten dan HKI lainnya juga memainkan peran penting dalam Revolusi Industri 4.0 yang mencakup pengembangan AI, big data, dan otomatisasi. Antara lain untuk memberikan kepastian bahwa para inovator mendapat penghargaan yang layak atas kontribusi mereka terhadap kemajuan teknologi. Sekaligus sebagai insentif untuk terus melakukan riset, pengembangan, dan inovasi lebih lanjut.

Sebagai penutup, saya mendeklarasikan bahwa tulisan ini bukan untuk dijadikan sebagai pendapat hukum di pengadilan.

Referensi:

Series Navigation<< Gagap Etika dan Perilaku Negatif dari Netizen Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.