Digital Health

Post ini adalah nomor 9 dari 12 dalam serial Digital Citizenship

Digital Wellness alias ‘kesehatan’ digital.

Silakan ke content Digital Citizenship untuk zooming out dan lebih paham konteksnya secara helicopter view. Digital Wellness adalah salah satu di antara Digital Citizenship tersebut.

Baca Juga: Digital Minimalism.

Yes, teknologi digital dan sekaligus internet memberikan banyak sekali keuntungan. Mulai dari mencari dan mendapatkan informasi, membandingkan antar produk atau layanan, sampai dengan melakukan pembelian.

Namun, teknologi yang telah mengubah kehidupan kita sehari-hari tersebut juga punya sisi lain yang bisa mencegah kita mendapatkan pengalaman terbaik dalam berinternet dan berdigital.

Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk ber-daring, maka semakin besar juga risiko atas paparan terhadap masalah kesehatan fisik (kesehatan mata, misalnya), peretasan (hacking), perundungan (bullying), atau bahkan lebih buruk lagi.

Kita semua menggunakan social media (socmed) untuk bertemu, berteman dan berbagi informasi dengan banyak orang. Juga dalam mengekspresikan diri serta belajar dari pengalaman yang dibagikan orang lain di akun-akun digitalnya.

Namun, dari socmed yang sama juga kita mendapatkan rasa kecemburuan yang mungkin berlebihan. Eksposur yang berlebihan tersebut juga memungkinkan kita mengalami depresi, rendahnya kepercayaan diri (low self-esteem), maupun masalah mental lainnya.

Perihal masalah mental, kita pengguna internet, khususnya Gen Z, banyak menggunakan istilah-istilah kesehatan mental yang sebenarnya baru layak digunakan pasca berkonsultasi dengan ahlinya.

Dalam survei terhadap 1.500 orang dewasa muda tentang dampak socmed pada masalah-masalah seperti kecemasan, depresi, identitas diri, dan citra tubuh, ditemukan bahwa YouTube memiliki dampak paling positif bila dibandingkan dengan Instagram, Facebook, Twitter yang menunjukkan efek lebih negatif secara keseluruhan.

Menanggapi semua diskursus tersebut, ini ada beberapa strategi sederhana yang bisa kita lakukan dalam mengurangi emosi negatif dan perilaku kompulsif (menurut definisi, kompulsif adalah ide yang menetap di pikiran kita dan selalu mendorong kita melakukan ‘sesuatu’):

  • Pastikan niat-tujuan kita sebelum nge-posting sesuatu di socmed. Sekedar posting-an menitip sejarah di socmed kah, pamer isi etalase kah, dsb. Jika kita ingin divalidasi oleh orang lain, tanyakan pada diri kita sendiri, “Apakah ada sesuatu yang lebih konstruktif yang dapat saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut?”
  • Batasi waktu yang kita habiskan di socmed setiap hari. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan lebih dari dua jam per hari di socmed memiliki self-esteem yang lebih rendah daripada mereka yang tidak.
  • Memang ada orang-orang yang hidup dari socmed, seperti selebgram atau YouTuber. Kamu bisa jadi salah satunya, bisa juga tidak. Apabila tidak, maka tidak usah bersedih. Socmed is not for everybody, lah.

Jadi, cakupan Digital Wellness yang saya bicarakan di atas, lebih pada aspek kesehatan mental. Secara fisik, ada pula kesehatan dan kebugaran yang perlu kita jaga. Di antaranya adalah:

  • Posisi duduk yang ergonomis ketika bekerja dengan meja dan komputer, sehingga tidak menyebabkan pegal, sakit tulang belakang, skoliosis, dan lain sebagainya.
  • Screen time untuk semua gawai, termasuk TV. Sehingga mata kita terjaga kesehatannya dan bisa dipakai dalam jangka panjang.
Series Navigation<< Digital SecurityNetiquette dan Cyberbullying >>

One comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.