Mengingat Kembali Eksperimen Menulis Buku dari Blog

Pada post kali ini, saya mencoba mengingat kembali eksperimen saya dalam menulis buku dari sebuah blog. Awalnya saya menduga tantangannya hanya sebatas menulis dengan topik yang sama dengan konten yang mengalir. Prosesnya terbukti lebih rumit dari itu. Nampaknya momentum sangat mempengaruhi alur tulisan saya. Manajemen waktu untuk mendapatkan konsentrasi terbaik dalam menulis tak kalah menantang dalam eksperimen.
Post ini adalah nomor 1 dari 30 dalam serial Tips Blogging

Di awal pandemi lalu, saya begitu semangatnya menulis hingga kumpulan tulisan saya bisa menjadi buku. Barang jadinya ada di link ini.

Dalam post kali, saya mencoba mengingat-ingat kembali eksperimen saya dalam menulis buku tersebut dari blog. Di mana, part demi part-nya saya tulis sebagai artikel untuk kemudian saya kompilasi menjadi sebuah buku.

Awalnya saya menduga tantangan tersebut hanya sebatas menulis dalam topik yang sama dengan isi konten yang mengalir. Saya kira, kita harus memiliki nafas yang panjang bukan dalam proses menulisnya. Melainkan dalam proses melakukan riset hingga sampai pada ‘aha moment‘ tentang gagasan apa yang mau dituangkan itu.

It turns out, prosesnya terbukti lebih rumit daripada itu.

Rupanya momentum sangat mempengaruhi flow menulis saya. Let say jika saya berhenti selama 2 bulan, maka saya akan kehilangan pijakan tentang sudah berada di alur tulisan yang mana dan selanjutnya harus berarah ke mana.

Baik dari sisi apa yang dipikirkan dan dituliskan, hingga apa yang dirasakan oleh perasaan saya dalam “mengejar” volume tulisan dengan hasil olah pikir yang berkualitas tersebut.

Sebagai bagian dari momentum, manajemen waktu untuk memperoleh konsentrasi terbaik dalam menulis juga tidak kalah menantang dalam eksperimen tersebut.

Jika menulis buku merupakan aktifitas yang kita upayakan untuk kita kerjakan setiap hari, maka bagaimana kita memberikan waktu dan konsentrasi yang cukup, di antara rutinitas yang sudah terlebih dahulu meminta komitmen kita juga? Sebagai contoh, kerjaan kantor dan peran ayah dalam pengasuhan.

Apakah kumpulan tulisan bukan sebuah buku?

Eksperimen ini, kalau dikomparasi dengan pernyataan Iqbal Aji Daryono, bahwa kumpulan tulisan pendek, dengan kisaran 700-1500 kata per tulisan, bukanlah sebuah buku, maka buku “Freelance 101” ini memang perlu direnungkan lagi apakah benar-benar sebuah buku atau bukan.

Strategi pembuatan naskahnya memang dengan menulis pendek-pendek, lalu mengkompilasinya menjadi sebuah buku, mengikuti tren yang sedang hype saat itu.

Yaitu tren di mana, sekumpulan orang membuat sebuah buku dari tulisan yang mereka himpun. Dan tren ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan baru. Saya melihat fenomena tersebut terjadi di mana-mana. Saya sendiri pernah melakukannya di komunitas blogger. Berikut ini post IG yang menunjukkan buku antologi tersebut.

Eksplorasi Terus

Kali ini saya sedang mengeksplorasi topik Digital Citizenship. Portalnya di sini. Bisa berangkat dari sana untuk membaca dan memahami topik tersebut.

Strateginya sama ya. Riset, tulis, dan terbitkan. Itu saja diulang terus. Apakah ada harapan bisa setebal buku? Ya, ada. Tapi, tidak ingin terbatas pada buku saja, sebenarnya. Mudah-mudahan bisa lahir bentuk-bentuk lain.

Kuncinya, sebagaimana kita semua tahu, adalah konsistensi dan memelihara momentum. Sederhana tetapi tidak pernah mudah.

Di sisi eksternalnya, inisiatif seperti ini perlu banget untuk didoakan terus. Ya barangkali gayungnya bersambut dengan pemirsa/pembacanya ya kan. Sehingga menjadi pendorong juga untuk terus mendalami topik ini.

Sesuai judul, post ini maksudnya untuk mengingat kembali eksperimen yang dulu pernah dilakukan, berefleksi atas eksperimen tersebut, dan sebagai check point juga bahwa saya saat ini sedang berada di proses yang sama.

Series NavigationOrphaned Content dalam WordPress >>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *