Kilas Balik 2021

Bagi saya, tahun 2021 adalah tahun yang menukik tajam lalu mendaki sedikit secara perlahan.

Alhamdulillah masih hidup dan masih bertahan hingga akhir tahun 2021 ini.

Meski gak kayak roller coaster yang naik turun, tapi tahun ini memang banyak down-nya.

Pandemi tahun ini, masih sama seperti pandemi di tahun sebelumnya. Mengerikan dan kita harus berhati-hati.

Alhamdulillah masih punya pekerjaan. Selalu bersyukur kalau mengingat bahwa saya ini punya kerjaan. Karena masih banyak banget yang gak punya kerjaan dan membutuhkan pekerjaan.

Salah seorang rekan saya, Iqbal namanya, yang profesinya di industri pariwisata terhempas habis-habisan akibat pandemi, berpendapat,

Kerja itu memang capek, tapi lebih capek gak kerja.

Iqbal, 2021.

Matur suwun Iqbal, atas nasihatnya. Jadi bersyukur masih punya pekerjaan dan selalu bersabar atas tantangan apapun dalam pekerjaan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti vaksinasi supaya bisa melanjutkan hidup.

Suntik Vaksin

Saya vaksin pertama dan kedua di Rukun Warga (RW) tempat tinggal kami. Saya di bulan Februari dan April. Istri pasca melahirkan alias dalam peran sebagai ibu menyusui. Vaksinnya jenis Sinovac. Tidak ada KIPI berarti yang kami rasakan.

Cacar Air

Seingat saya, gak pernah tuh saya Cacar Air. Tapi saya pernah Cacar Api. Berhubung istri belum pernah, maka dia terserang dari anak-anak. Jadi sempat ada tiga pasien cacar di rumah.

Diagnosisnya baru tegak hanya dua pekan sebelum lahiran dan itu mengubah semuanya. Dari berharap lahiran normal, menjadi terpaksa menjalani operasi caesar.

Lahir

Paruh pertama tahun ini kami isi dengan ‘menunggu’ lahiran kedua. Periksa kandungan sebulan sekali bersama Anak Dua ke dokter Okky Haribudiman di RS Melinda 2.

Tetapi kami lahiran di RS yang berbeda. Baca: Pengalaman Melahirkan di RS Grha Bunda. Bersukacita karena ada yang datang dan berdukacita tatkala ada yang pergi.

Meninggal Dunia

Sebulan lebih pasca kedatangan anak bayi, rupanya ada yang “kontrak”-nya sudah habis. Dan kami harus merelakan kepergian beliau. Hebatnya, beliau rasanya masih hadir di tengah-tengah kami ini. Omong-omong, beliau suka dengan sembilan karena angka tersebut memiliki keberuntungan (hoki) tersendiri. Baca: Jumlah Sembilan.

Baca juga: Pengalaman Mengurus Akta Kematian dan Pengalaman Sidang Penetapan Ahli Waris.

Saya merasa kurang sering dan kurang banyak mengobrol dengan beliau (baca: Call Your Parents). Meskipun tidak bisa mengajari saya dengan baik, namun tetap saja saya banyak mengambil hikmah dari beliau. Khususnya pasca saya menikah, pasca punya anak, bahkan pasca beliau meninggal pun, selalu ada hikmah yang saya petik.

Saya bertekad, supaya saya juga menjadi pengajar yang baik bagi anak-anak di rumah.

Cerita hidup saya pun dilanjutkan dengan pulang kampung dahulu selama satu pekan disebabkan peristiwa besar tersebut. Rupanya, setelah cacar-lahir-meninggal, masih ada satu lagi.

Demam Berdarah

Hari Senin tersebut saya sudah tidak nyaman bekerja. Akhirnya minta izin supaya bisa istirahat sehari esoknya. Di Hari Selasa, tidak tahan dengan gejala demam dan sakit kepala, saya memaksakan diri ke dokter. Kata dokter, istirahat tiga hari ya: Rabu, Kami, Jumat. Namun, pengambilan sampel harus dilakukan Hari Rabu demi menegakkan diagnosis.

Kamis bertemu dokter lagi, ditanyakan masih bisa lanjut istirahat di rumah atau mau opname saja? Rupanya si penyakit belum mencapai puncaknya. Kalau di rumah akan ramai sekali dan sulit beristirahat. Kalau di RS maka sendirian tidak ada yang bisa menemani.

Akhirnya rawat inap selama empat malam. Kamis sore periksa darah untuk penegakan diagnosis: apakah demam typhoid (tipes) atau demam berdarah. Kamis malam ada rontgen untuk pengecekan covid atau tidak.

Jumat dan Sabtu saya ada mengkonsumsi Psidii Syrup 60 mL. Selain sudah bisa beristirahat panjang dengan nyaman dan menu bergizi dari RS, saya kira ekstrak tersebut juga membantu menaikkan trombosit saya.

Alhamdulillah Senin pagi saya bisa meninggalkan RS. Total 5 hari 4 malam di RS. Yang paling saya syukuri adalah, saya lebih dahulu menginap di RS bahkan sebelum penyakit mencapai puncaknya.

Mudik

Hampir dua tahun tidak pulang kampung karena pandemi, kali ini kami memaksakan mudik. Tidak dengan kereta api karena masih banyak kekhawatiran, khususnya karena membawa bayi, maka kami memutuskan lewat jalur tol saja. Baca: Pengalaman Menempuh Tol Trans Jawa.

Selain melepas rindu, si “anak baru” juga diperkenalkan dengan Yangti (eyang putri) dan Yangkung (eyang kakung). Selanjutnya saya mudik sendiri untuk menemani seorang janda yang baru saja ditinggalkan oleh suaminya. Ini harus saya lakukan, karena surga-nya saya di bawah telapak kaki beliau.

Mudik yang ini direncanakan 2-3 bulan ke depan hingga melewati pergantian tahun.

Kesimpulan saya tentang tahun 2021 adalah tahun yang menukik tajam lalu mendaki sedikit secara perlahan. Mudah-mudahan badai lekas berlalu. Karena tidak ada kesulitan yang tidak diikuti dengan kemudahan.

Dan di penghujung tahun inilah, kita sama-sama menanti pergantian ke tahun yang baru. Sampai jumpa di 2022!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.