Daftar Isi
Preliminary
Kami sangat suka naik kereta untuk perjalanan antarkota. Namun, karena akan membawa bayi dan situasi kondisi masih pandemi, kami tidak yakin untuk menggunakan moda transportasi yang satu itu.
Alasan mudik kali ini adalah sudah hampir 2 tahun tidak pulang. Apalagi kami mau memperkenalkan anggota baru kepada eyang kakung dan eyang putri, hehe. Jadi mumpung kasus sedang turun, diiringi dengan kewaspadaan, kami memilih moda transportasi yang lebih private. Instead of public transportation.
Awalnya, kami berencana menggunakan mobil tipe innova. Namun, mengingat kapasitas barang bawaan yang banyak, kami memutuskan mengganti dengan Hi-Ace. Sesama Toyota juga, hehehe.
Tentu saja harga sewanya berbeda. Siap-siap deh merogoh kocek lebih dalam. Namun, biaya BBM menjadi lebih ringan karena tidak menggunakan bensin Pertamax, melainkan pakai solar. Soal rincian biaya, saya terangkan di bagian akhir tulisan ini ya.
Kami tidak menggunakan tol pasteur ketika start dari Bandung. Karena alasan biaya. Hehe. Baru start menggunakan tol sejak di Kertajati. Itu lho, yang dekat dengan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). FYI, bandara ini sudah tersambung dengan tol ke arah timur Pulau Jawa. Tetapi belum tersambung ke arah barat. Pembebasan lahan masih berlangsung untuk tol Cisumdawu (Cileunyi – Sumedang – Dawuan).
Adventure Starts Here
Mulai berangkat jam 6.30 WIB ke arah timur, yaitu ke Jatinangor (salah satu kecamatan di Sumedang) via jalan AH. Nasution. Lanjut ke timur lagi ke pusat kota Sumedang. Kami terkejut karena rupanya jalur tersebut menanjak dan berkelok-kelok melebihi jalur ke Garut bagian selatan.
Sampai di dataran yang agak luas. Disangka sudah sampai di pusat kota Sumedang, ternyata itu adalah kecamatan Tanjungsari. You know lha, biasanya kecamatan-kecamatan yang “berdiri sendiri” ini punya ciri khas pasar tradisional yang terintegrasi dengan terminal. Mirip-mirip di kecamatan Lembang gitu.
Meninggalkan kecamatan Tanjungsari, kami “turun gunung” alias menuruni perbukitan dengan jalan yang berkelok-kelok lagi. Kalau tadi naik, sekarang turun. Dari sinilah baru menemukan pusat Kabupaten Sumedang. Lanjut lagi dengan perasaan yang sudah tidak tertarik karena cenderung membosankan. Apalagi karena menggunakan “supir tembak” kami harus terus mengingatkan beliau supaya tidak ngebut hingga 120km/jam.
Masuk gerbang tol di Kertajati. Mengalami kombinasi jalan aspal dan jalan semen. FYI, yang baik untuk ban kendaraan darat sebenarnya adalah jalan aspal, tetapi dengan anggaran pembuatan jalan raya yang sama, bisa diperoleh jarak jalan semen yang lebi jauh.
Total kami menggunakan rest area hingga 4 kali. Tidak semuanya rest area yang besar. Yang masih segar dalam ingatan adalah rest area km 166 di Cipali. Di sini, ada masjid yang disponsori oleh Bank Mandiri Syariah (sekarang BSI, ya).
Semarang
Rest area berikutnya adalah km 429 Tol Ungaran – Bawen. Rest area ini penuh sekali. Berhubung kapasitasnya memang mumpuni, jadi segala kebutuhan makan, minum, istirahat dan sholat dhuhur tetap terpenuhi. Kami sempat membeli oleh-oleh Lumpia Semarang dan Kue Moci yang khas Semarang juga. Jangan tanya soal harga ya. Pastinya jauh lebih mahal daripada yang biasa. Karena ‘kan diposisikan sebagai “panganan oleh-oleh”.
Dari rest area ini, tidak lama kami memasuki kota Solo. Di kota ini, sekilas saya lihat ada 4 gerbang tol. Salah satu di antaranya menuju Bandara Adi Soemarmo. Yang menggembirakan sekaligus melegakan adalah kami melihat plang hijau bertuliskan “Surabaya” yang berwarna putih. Artinya, tidak lama lagi akan sampai di Surabaya. Setelah lihat gmaps, rupanya kisaran 3 jam saja.
Selanjutnya, di jalur tol praktis tidak ada yang menarik. Kami sudah lelah dan bosan. Meski excited karena tidak lama lagi perjalanan akan berakhir, namun jalurnya relatif sepi kendaraan. Tidak heran, para mobil “pesaing” memacu gasnya hingga 140 km/jam. Lagi-lagi, kami selalu mengingatkan pak driver untuk tidak terpancing dengan “ajakan balapan” tersebut.
Saya tambahkan per 7 Oktober 2022, bahwasanya tidak lama (kurang lebih 1-2 minggu) setelah kami lewat jalur ke Solo-Surabaya tersebut, Vanessa Angel dan suaminya mengalami kecelakaan hebat di jalur yang sama.
Kami tiba di kecamatan Rungkut, kota Surabaya jam 18.30 WIB. Jadi lama waktu perjalanan total mencapai 12 jam. Akan lebih cepat bila menggunakan jalur tol ya, tentu saja.
Feeling
Berhubung ini pengalaman pertama, jadilah ini experience yang sangat seru dan menarik. Lelah? Iya. Apakah ingin mencoba lagi? Tentu saja tidak, hehehe.
Sebagai penumpang kendaraan jalur darat dan volume kecil (Hi-Ace hanya memuat 8 orang, menjadi 9 dengan supir), kami sangat mengkhawatirkan keamanan dan keselamatan. Asal tahu saja, persentase kecelakaan tertinggi kan adanya di jalur darat seperti tol ya, bukan di jalur high-tech seperti terbang dengan pesawat. Dengan kata lain, meski perjalanan ini sangat menarik, tetapi kami harus terus waspada perihal kecepatan dan keselamatan perjalanan.
Cost
Berhubung ini bukan public transport yang pergi dari kota A menuju kota B, dengan asumsi akan mendapat penumpang di kota B, maka harga yang diberikan kepada kami merupakan harga yang dianggarkan untuk bolak-balik. Berikut adalah rinciannya:
Mobil 1.400K
BBM 1.600K
Driver 1.000K
Tol 1.500K
Uang makan driver balik 100K
Total 5.600K
[…] 2021, kami pernah menjajal tol Trans jawa. Baru masuk tol di cipali, sih. Menuju ke sana masih jalur biasa dan tentu saja melewati cadas […]
wah sangat bermanfaat
[…] Hampir dua tahun tidak pulang kampung karena pandemi, kali ini kami memaksakan mudik. Tidak dengan kereta api karena masih banyak kekhawatiran, khususnya karena membawa bayi, maka kami memutuskan lewat jalur tol saja. Baca: Pengalaman Menempuh Tol Trans Jawa. […]