Lebaran ala Covid-19

Setelah Ramadhan combo covid-19, kali ini bagaimana Lebaran di pandemi yg sama?

Sejak semalam, yakni di malam lebaran (notabene sudah 1 Syawal), sudah gelisah duluan. Kudu nge-briefing and coaching si Anak Dua. Apa 30 hari yang sudah lewat, dan apa yang akan kita lakukan di pagi harinya (Shalat Ied). Coaching-nya meliputi 8 kali takbir di rakaat pertama (termasuk takbir pertama banget), 6 kali takbir (include setelah bangun dari sujud) di rakaat kedua, dan apa yang dibaca (subhanallah, wa alhamdulillah, wa laa ilaha illahu, allahu akbar).

Kalau bukan Lebaran Covid-19 ini, saya juga gak belajar bahwa ada sunnahnya untuk membaca Al A’la (Sabbihisma rabbikal a’la) di rakaat pertama dan Al Ghashiyah (Hal ‘ataka haditsul ghasiyah) di rakaat kedua.

Masjid RW di RT saya sebenarnya menyelenggarakan Shalat Ied, bahkan sejak beberapa malam terakhir mengadakan tarawih — harap maklum ya, banyak pensiunannya, tampaknya kehilangan pertemanan sekali kalau tidak ‘bermain’ di masjid.

Namun, kami memilih untuk ‘Ied di rumah saja. That’s why saya belajar jadi imam.

Rindu Ramadhan

Jadi, sejak magrib kemarin sampai sholat tadi masih galaw-galaw gitu. Phhysically, Ramadhan memang tidak nyaman ya. Bangun sebelum subuh, masak, makan sahur, harus ditahan sampai beres subuh-an. Bahkan jangan tidur sampai matahari terbit, deh. Bangunnya gak akan enak kalau tidurnya di jam-jam tersebut.

Di sisi lain, bulan Ramadhan adalah satu-satunya momentum dan medium untuk melatih kita meningkatkan intensitas ibadah. Ya lewat tarawih, tilawah Al Quran, iktikaf, dll.

Jelas berat untuk meraih semuanya dalam satu Ramadhan. Setidaknya, kita bisa meningkatkan satu aspek di satu Ramadhan, kemudian aspek lainnya di Ramadhan.

Makanya kita diajarkan untuk berdoa agar tetap dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan, ‘kan? Simply karena Ramadhan bisa membantu meningkatkan amal ibadah.

Physical Distancing

Ramadhan + Lebaran di musim pandemi begini memang sangat berbeda rasanya. Sebagai negara bangsa dengan kebiasaan guyub, alias apa-apa kudu bareng, ‘mengekor’ ke satu informal leader tertentu, lebih ramai lebih enak/nyaman, dst-nya, lebaran kali ini terasa sekali sepinya. Dalam skala tertentu, sepi = sedih.

Kalau selama Ramadhan, loneliness untuk introvert seperti saya malah membuat produktif lho. Ngajinya jadi lebih banyak, tarawih gak harus di masjid, dsb.

Tapi beda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya di mana kita bisa mudik, puasa, tarawih, dan lebaran bareng dengan keluarga. Crowd attract happiness indeed. But physical distancing keep us apart and make us feel lonely. Buat apa mudik kalau malah menyebarkan virus. Jadinya hanya bisa mengirim doa (and hampers!) dari sini.

Lebaran ini unik di tiap negara. Kalau Indonesia unik dengan crowd dan keguyubannya, maka di negara-negara Arab malah sepi di tanggal 1 Syawalnya. Bahkan, tanggal 2 Syawal langsung menggeber puasa Syawal sepanjang 6 hari berturut-turut. Link Kumparan berikut ini mengulasnya.

Pasca Lebaran

Di New Normal, saya singgung bahwa banyak hal sedang bergeser (shifting). Begitu kuatnya hingga menjadi sesuatu yang biasa/normal.

WFH akan kita jalani dengan fisik yang lebih nyaman. Kapanpun lapar/hausnya bisa makan/minum. Tidak menunggu adzan magrib.

Anak Dua yang mestinya Juli ini mulai sekolah, kayaknya perlu kami tunda dulu. Setidaknya satu semester. Kita kurang paham dampak Covid-19 ke anak-anak ini sebenarnya gimana. Only conservative thinking applied.

Frozen food makin eksis juga. Bagian dari New Normal yang apabila menunggu vaksin saja, paling cepat sedikitnya 2-3 tahun.

Pendapatan yang lebih rendah bagi masyarakat kita, setidaknya juga berlangsung 2-3 tahun ke depan. Implementasi protokol-protokol kesehatan pasti berdampak pada perekonomian. New Normal-nya adalah, membiasakan diri untuk lebih ketat mengelola keuangan.

FYI, perputaran ekonomi dari yang didorong oleh THR untuk mudik, belanja baju lebaran, kirim hampers, adalah perputaran yang sesaat sifatnya. Di sisi lain, sedihanya adalah crowds tersebut akan menjadi bibit-bibit cluster covid-19 yang baru.

Show atau entertainment macam sepakbola di musim yang baru, belum tentu akan dilanjutkan. English Premier League (EPL) sebagai yang paling bergengsi, juga masih bimbang. Makin ke sini, perkembangan antara negara semakin berbeda-beda. Liga Jerman (Bundesliga) termasuk yang beruntung karena tampaknya berjalan baik. Hari ini sudah pekan kedua berjalan pasca pandemi.

Selamat merayakan hari raya idulfitri 114 Hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menerima amal ibadah kita di bulan Ramadhan yang lalu, dan semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun depan. Aamiin.

NB: Pre-Order buku terbaru saya, “Freelance 101” telah dibuka. Buku ini memperkenalkan topik-topik umum seputar pekerjaan lepas (freelancing):

  1. Ada peluang apa saja untuk menjadi pekerja lepas
  2. Bagaimana cara memulai freelancing
  3. Bagaiaman para freelance beroperasi sehari-hari
  4. Mengatasi tantang freelance banyak sekali
  5. Meningkatkan produktifitas
  6. Kerja jarak jauh

Untuk ikut memesan, silakan tombol di bawah ini:

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.