Para orang tua kini sedang menimbang opsi homeschooling (HS), termasuk kami. Kalau tidak ada pandemi ini, seharusnya Anak Dua masuk TK. Sehingga dua tahun lagi bisa masuk SD. Namun, kami jadinya menghitung dan menimbang ulang kemungkinan untuk homsechooling dulu dan baru masuk TK di semester berikutnya.
Daftar Isi
FAQ Homeschooling
Beberapa pertanyaan yang sering diajukan mengenai HS adalah:
- Adakah HS di kota saya? Di mana saya bisa mendaftar homeschooling?
- Berapa biaya HS yang harus saya bayar?
- Bagaimana ijazah anak HS? Apakah anak HS bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi?
- Bagaimana sosialisasi anak HS?
- Sejak usia berapa anak bisa HS?
- Bagaimana standar dan kurikulum HS?
- Apakah saya bisa melaksanakan HS sambil bekerja?
- Bagaimana cara memulai HS?
Jawabannya ada di laman berikut: FAQ soal Homeschooling
Fyi, FAQ tersebut disusun oleh Rumah Inspirasi. Suatu komunitas HS yang mendokumentasi dan membagikan panduan dan pengalaman ber-HS. Format output-nya cukup lengkap, kok. Ada IG, email berlangganan, webminar, buku-buku, dan sebagainya.
Bukunya ada 2:
- 55 Prinsip dan Gagasan Homeschooling
- Pembelajar Mandiri (putra pertama keluarga Sumardiono)
Dapat dikatakan, Rumah Inspirasi bukanlah sekolah. Para orang tua praktisi HS berkumpul di sana. Saling berbagi online dan offline tentang apa masalah yang dihadapi, serta bagaimana solusinya. Untungnya, dokumentasi yang dibuat sudah ditata-ulang sedemikian rupa sehingga nyaman bagi kita mengkonsumsinya.
Baca Juga: Meramal Masa Depan Pendidikan Kita: Blended Learning.
Konsumen Jasa Pendidikan
Dalam 5 tahun terakhir memang ada kenaikan pencarian search term atau topic HS. Artinya, banyak orang tua yang membutuhkan informasinya. Namun, apakah semua pencari tersebut mendapatkan informasi yang dibutuhkan, atau mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki?
Tanpa bermaksud mengurangi upaya untuk mencari tahu, sejauh ini Rumah Inspirasi sepertinya yang paling konsisten dalam membagikan masalah dan solusi dalam HS.
Saya sendiri bersama istri, masih belum menemukan framework yang tepat untuk merumuskan jawaban apakah homeschooling merupakan alternatif yang benar-benar cocok untuk keluarga kami. Mengapa demikian?
Karena selama empat belas tahun bersekolah dari TK hingga SMA, ada dua hal yang tampaknya membuat kita, mewajibkan diri menjadi “konsumen” institusi pendidikan yang bernama sekolah:
- Kita belum menemukan solusi lain atas kebutuhan bersosialisasi dan keinginan untuk berjejaring di usia sekolah
- Bila tidak belajar di sekolah, maka kita tidak/belum mengikuti trend dunia soal “belajar di mana”
Sebagai konsumen jasa pendidikan, sekaligus orang tua yang (berusaha) responsible, tentu kita ingin donk mengetahui needs and wants-nya kita, lalu menetapkan ekspektasi kita terhadap jasa pendidikan yang akan diterima oleh anak-anak kita sebagai peserta didik.
Hal tersebut mendesak untuk kita pahami, demi mengoptimalkan best value dari pendidikan oleh guru di sekolah dan pendidikan oleh ortu di rumah.
Responsible, Accountable, and Consulted
Sejak menjadi orang tua, saya menginsyafi bahwa tanggung jawab (responsibilities) pendidikan –terutama karakter– berada di tangan dan pundak orang tua. Dalam hal ini, ortu bisa mengalihdayakan (to oursource) ke pihak-pihak lain:
- Sekolah formal
- Lembaga kursus
- Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA),
- Pengajar privat, dll
Keempatnya maupun sejenisnya, merupakan lembaga-lembaga yang bisa diandalkan (accountable) dalam melaksanakan kebutuhan si peserta didik.
Ada pula pribadi maupun lembaga yang bisa dijadikan rujukan atau tempat berkonsultasi mengenai pendidikan anak-anak. Sebutan umumnya Psikolog Pendidikan. Butuh berkonsultasi? Silakan tanya mbah Google, misalnya dengan format “Psikolog Pendidikan” + nama kotamu.
Untuk pendidikan strata satu maupun yang lebih tinggi, ada lembaga Konsultan Pendidikan. Perannya lebih kepada menghubungkan kampus di luar negeri dengan calon pesertanya.
Dengan keberadaan kedua jenis lembaga tersebut, kita sebagai orang tua sekaligus konsumen jasa pendidikan, sebenarnya bisa berkonsultasi mengenai pendidikan yang tepat untuk putra-putri kita.
Mengingat, tanggung jawab kita bukan sekedar menyediakan pendidikan. Tetapi juga meramu dengan cermat jasa-jasa pendidikan tersebut, agar anak-anak dapat menemukan fitrahnya.
Kalau kita benar akan menerapkan HS, bagaimana mengevaluasinya? Sebagaimana jasa-jasa pendidikan dari eksternal pun turut melakukan evaluasi.
Evaluasi Homeschooling
Evaluasi HS juga mengacu pada Standard Nasional Pendidikan.
Bila kita ingin mengacu kepada standard pendidikan di masyarakat, pertanyaan para ortu adalah, kalau tidak belajar di sekolah, lantas bagaimana mengevaluasi proses belajarnya? Via sekolah atau bukan sekolah, tentunya adalah standard minimal yang idealnya bisa dipenuhi para peserta didik, dong?
Jawabannya sudah tersedia di Ujian Paket. Ada tiga macam: Ujian Paket A (setara SD), Ujian Paket B (setara SMP), dan Ujian Paket C (setara SMA). Ujian-ujian ini melengkapi Kejar (Kelompok belajar) untuk masing-masing paket. Modul-modul Kejar bisa diakses di sini.
Apakah peserta kejar (kelompok belajar) paket C tidak ada yang kuliah di kampus ternama? Subjek di buku “Pembelajar Mandiri” di atas, kuliahnya di Universitas Indonesia (UI), kok. Ada juga rekan saya tahun 2004 lalu, kuliah di ITB sampai lulus. Beliau juga lulus dari paket C. Jadi, bukan berarti peserta kejar paket tidak bisa menempuh pendidikan tinggi.
Okay, kembali ke konteks pandemi yang membuat kita mempertimbangkan ulang pendidikan anak-anak di paruh kedua tahun 2020 ini. Yang mana, kita sudah 2-3 bulan terakhir melaksanakan secara jarak jauh (remote) dengan bantuan berbagai aplikasi online.
Tren Online Education
Pandemi Covid-19 ini mendorong kita pada percepatan 4.0 yang memungkinkan segala aktifitas kehidupan bisa dilakukan serba online. Termasuk pendidikan, berikut beberapa bentuknya yang sudah new normal:
- Sebelum memulai kelas, pengajar bisa berbagi materi bacaan terlebih dahulu. Format bisa docs, pdf, slides, dsb. Peserta sebaiknya mempelajarinya dahulu sebelum mendengarkan penjelasannya.
- Segala bentuk ceramah, presentasi, penjelasan, dsb. bisa direkam dan diunggah di Youtube, atau podcast. Peserta pendidikan tinggal mendengarkan/menonton.
- Diskusi atau tanya jawab seputar topik yang dipresentasikan, bisa diselenggarakan di WhatApp Group (WAG), Zoom, atau Google Meet. Bukan sekedar ada siswa bertanya kemudian dijawab oleh guru. Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan siswa lain dalam tanya-jawab tersebut. Fungsinya, untuk memaksimalkan tanya-jawab guna memahamkan siswa-siswa yang tidak bertanya, serta mengefisienkan peran guru agar tidak menjawab yang sama berkali-kali atas pertanyaan yang sama. Intensitas tertinggi dari interaksi antara guru dan siswa, idealnya terjadi di fase ini.
- Evaluasi pengajaran kekinian pun sudah bisa dilakukan secara online, lho. Guru bisa menggunakan Google Form, atau sekolah bisa berlangganan aplikasi ujian semisal Edubox.
Penutup.
Pada awalnya, saya bimbang terhadap potensi HS sebagai alternatif pendidikan. Saya yakin, pendidikan bukan hanya untuk anak sebagai peserta didik saja. Pendidikan juga untuk orang tua si peserta. Dan poin terakhir ini yang menghadirkan keraguan saya terhadap konsep HS. Karena waktu orang tua sudah tersita untuk bekerja maupun aktifitas lainya.
Seiring berjalannya saya meriset dan menulis artikel ini, saya menemukan bahwa HS bukan sekedar alternatif biasa, setidaknya untuk saya. Yaitu, HS memang sangat mungkin untuk menggantikan peran sekolah sebagai institusi pendidikan.
The devil is in detail. Tinggal bagaimana menemukan dan meramu eksekusi/pelaksanaan HS yang memang tepat dengan situasi dan kondisi si orang tua, sekaligus bentuk dan metode pendidikan yang mengarahkan si anak (sebagai peserta) untuk menemukan fitrahnya.
wah makasih ya informasinya! Bermanfaat.