Akankah Fenomena Bahasa JakSel Merusak Bahasa Kita?

Di satu sisi, berbahasa gaul dengan kawan dekat memang menyenangkan. Di sisi lain, kita juga bertanya-tanya akankan fenomena bahasa gaul dapat merusak bahasa resmi yang kita gunakan di negara?

Saya suka menyimak konten yang disajikan oleh Oza Rangkuti dan tawa saya terpancing dengan punchline yang dia berikan. Bagi yang belum tahu, stand-up comedian yang satu ini lekat dengan perihal per-jaksel-an. Dia sering mengutip,

Jaksel itu bukan soal geografis, tetapi soal mental,

Per-jaksel-an ini menarik bagi saya, karena ketika kita bicara mental, maka kita secara kreatif juga bisa melihat fenomena ini sebagai sebuah segmen pasar. Misal, segmen-nya kita sebut “Jaksel” yang tentu saja bisa kita bedah lewat perspektif demografi, psikografi, dan perilaku.

Dari demografi-nya kan terasa tuh ya, didominasi oleh generasi milennial (atau gen Y) maupun gen z. Psikografi-nya misal punya anxiety (keresahan) soal belum berkeluarga, work-life balance, financial freedom, mental health, dll. Soal behavior, kesamaan perilaku yang frequently dilakukan adalah healing (alias traveling) ke Bali.

Bahasa Jaksel

Secara bahasa, anak-anak Jaksel ini pun memiliki bahasa gaul ala mereka sendiri. Oza Rangkuti membuat kita tercengang dengan kamus bahasa jaksel-nya. Setidaknya ada tiga video di channel YouTube Podcast Kesel Aje yang merangkum kosakata anak-anak Jaksel.

Soal bahasa gaul, yakni bahasa yang edgy (dari kata edge, alias tepi, maksudnya ‘berusaha menjadi yang paling keren’) bagi para penggunanya yang relatif terbatas itu, memang ada masa kadaluarsanya. Begitu semua orang sudah menggunakan, maka si anak-anak edgy ini akan membuat dan menggunakan kosakata baru lagi.

Ibarat adaptasi produk oleh pengguna di product life-cycle, anak-anak edgy ini adalah para early adopter. Sementara yang baru tahu dan pakai belakangan, mirip-mirip dengan late majority adopter. Begitu kosakata ‘g4ul’ tersebut mulai diadopsi oleh massa kebanyakan, maka si anak-anak ‘gawl’ ini beranjak pergi dengan kosakata yang lebih baru lagi.

Sejarah Jaksel

Perihal kata-kata gaul, sebenarnya ini ‘kan bukan fenomena baru ya. Anak gaul sudah ada sejak puluhan tahun lalu di zamannya masing-masing. Kebetulan aja zaman now begini, anak-anak yang inovatif dalam penggunaan kata ya anak-anak Jaksel.

Fenomena mencampur-adukkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ini bukan tiba-tiba terbentuk. Tentu ada asal-muasalnya. Salah satunya adalah kantong-kantong jakarta selatan yang merupakan tempat tinggalnya para ekspatriat dan tempat bersekolahnya anak-anak mereka.

Bukan orang tuanya yang bule pendatang itu yang kreatif mengaduk-aduk tatanan ‘mohon berbahasa dalam satu bahasa saja’. Melainkan anak-anak sekolah tersebut yang karena ‘bergawl’ dengan anak-anak bule, sehingga mulai terjadi ‘bilingual’ alias dua bahasa.

Paradoks Berbahasa

Di satu sisi, bahasa adalah alat komunikasi. Sebagai alat, dia harus mengikuti hukum ‘cair’ alias luwes. Mana bahasa yang luwes, itulah bahasa yang akan survive karena digunakan dan dipertahankan. Yang dalam praktiknya, melalui proses-proses adopsi dan adaptasi di sana dan di sini. Di sinilah ‘keunggulan’ dari bahasa lisan.

Di sisi seberangnya, bahasa adalah alat pemersatu suatu entitas masyarakat. Bangsa Indonesia dipersatukan oleh Bahasa Indonesia yang menjadi sumpahnya para pemuda tahun 1928. Dan sebagai pemersatu, dia harus tunduk pada tata aturan berbahasa tertentu; baik lisan maupun tulisan. FYI, lini masa perubahan aturan ejaan Bahasa Indonesia bisa disimak di Sejarah EYD Ejaan Bahasa Indonesia.

Sebagai bahasa yang mempersatukan, negara punya kewajiban untuk memelihara donk. Salah satu channel yang digunakan untuk memelihara bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi adalah institusi pendidikan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Secara lisan mau tertulis, Bahasa Indonesia dipelihara oleh negara. Selain institusi pendidikan, institusi pemerintahan juga ‘memaksa’ penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian.

Kesimpulan

Kembali ke peran kita sebagai apa dan di mana, di sanalah kepantasan berbahasa kita utamakan. Dalam konteks yang lebih bebas, di mana ‘loe paham dan gue paham‘, maka berbahasa jaksel ya gapapa.

Namun di sisi lain, sebagai warga negara yang baik, kita juga harus paham Bahasa Indonesia yang baik dan benar, secara lisan (kepada guru, sesama siswa, kolega di kantor, dsb.) maupun tulisan (tugas, laporan, proposal, dan dokumentasi lainnya).

Selama kita bisa membedakan kapan dan di mana menggunakan bahasa gaul seperti bahasa Jaksel, dan pada konteks resmi seperti apa menggunakan bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia, maka kita tidak perlu khawatir akan fenomena sejenis bahasa jaksel yang merusak bahasa resmi dan bahasa persatuan kita.

Bahan bacaan: https://nationalgeographic.grid.id/read/13940384/fenomena-gaya-bahasa-anak-jaksel-apakah-mengancam-bahasa-indonesia?page=all

4 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.