Sekarang ini, pamer makin gampang, yah. Berkat social media. Terutama instagram (IG). Itu yang paling kekinian. Dulu ada facebook dengan fitur post with image dan photos. Sekarang, facebook jadi serba ada. Akun personal, fan page, grup, dan sebagainya sampai fesbuk nya sendiri bingung mau menjadi apa. Semacam politisi di tahun 2009, 2014, 2019 ya. Berubah sana, berubah sini. Hanya dalam rentang 5 tahun.
Akhirnya orang-orang lebih fokus ke IG. Fokusnya user pada visual yang disajikan. Caption ibarat gula. Pemanisnya aja. Tapi bahan dasarnya ya si post utamanya itu. Caption bisa aja di-halus-kan. Atau dibikin beda sedikit lha, dari impresi pertama si follower. Yang jelas, sublime message-nya dapat dari visual post-nya. Yeah, tapi gak semua user IG kayak begitu, siy.
Ah ya, sekarang ada story. Tidak cuma gambar diam. Namun juga gamger (gambar bergerak). Namanya video kan, ada audionya pula lha, ya. Dengan teks dan suara yang bisa ditambahkan, makin lengkap racikan koki si owner akun IG tersebut. Story ini main “scarcity“. Alias ke-jarang-an. Makin jarang, makin terbatas, makin berharga. Hanya 24 jam saja, lho.
Pergi ke tempat-tempat wisata yang lagi hits. Restoran atau kafe yang baru. Yang instagrammable.
Bikin para followers makin gak mau ketinggalan. FOMO. Fear of Missing Out. Atau gak mau sampai kelewatan dengan alasan YOLO. You Only Live Once.
“Pokoknya gue harus ikutan. Gue gak boleh kudet (kurang updet). “
Habis kena di-pamer-in, pokoknya kudu pamer balik.
Toh pamer juga makin gampang karena ada beragam cara pembayaran.
Dulu, pamer itu disponsori kartu kredit (CC, Credit Card). Tinggal gesek, gak harus ke ATM ambil uang tunai. CC disangka sebagai dewa baru. Mendatangkan uang kontan di saat paling tidak dibutuhkan: belanja yang tidak diperlukan.
Alhamdulillah masih ada yang sadar. CC sebagai pemberi utangan aja. Kalau sudah masanya (tagihan) datang ya dibayarlah. Harus disiplin. Entah yang seperti ini mungkin makin langka juga. Sebagian yang lain hanya bayar minimalnya aja. Masih sekitar 10%, kan? Ada juga yang bayar pokok dulu, bunganya enggak.
Habis CC, terbitlah KTA. Kalau bikin CC diawali dengan memiliki penghasilan (atau saya salah?) sebagai bukti bahwa mampu membayar, maka KTA adalah Kredit Tanpa Agunan. Tanpa ukuran, bukti, apalagi jaminan bahwa yang bersangkutan memang mampu membayar si kredit tersebut.
Nah, di era serba online macam begini. Apalagi, online nya bukan level browser lagi, maka lahir lah KTA versi mobile application. Ini ya ngeri, pake akun socmed lho, si pinjol (pinjaman online) ini.
Default di pinjol pertama, maka bikin akun baru di pinjol kedua, untuk menutupi gagal bayar yang pertama. Gali lubang tutup lubang. Begitu terus sampai sudah lebih dari 20 jenis pinjol digunakan. Yang karena gak menemukan pinjol yang baru lagi, maka si penagih utang mulai menggunakan jurus-jurus kasar: merusak nama baik si peminjam dengan cerita yang buruk-buruk ke kolega di social media.
Padahal ya, gak semua friends/followers di social media adalah keluarga atau teman dekat, ‘kan? Bayangkan betapa malunya bila dicitrakan buruk di hadapan orang-orang yang sekedar tahu aja, bukan kenal.
Itulah, karena pamer, pertemanan bisa rusak juga.
Beberapa orang ternyata sungkan bertemu dengan teman-temannya yang dulu akrab. Baik memang karena satu geng, atau berteman dan bekerja bersama dalam suatu organisasi. Kenapa sungkan? Karena di social media pada “memamerkan” pencapaian masing-masing.
Ya pencapaian harta, ya pencapaian karya.
Dari jauh, saya melihat pamer-pameran via socmed ini bikin pertemanan malah jadi berjarak ya. Entah karena sibuk, kemudian lupa meluangkan waktu untuk silaturahmi dengan kawan lama. Atau mungkin menghindari pertemuan demi menghindari topik soal pencapaian? Entah lha. Metode validasi apapun takkan bisa membuktikannya.
belum tentu juga sih. banyak juga orang yang nulis buat sharing something.