Work From Home, dari Terpaksa menjadi Biasa

Awalnya terpaksa. Rasanya berat sekali. Lima bulan berjalan, WFH sudah semakin biasa saja. Dalam artikel ini, ada beberapa cerita dan saran soal WFH.

Pernah tiga sampai empat kali dalam dua minggu terakhir, para ortu dan mertua menanyakan ke saya dan istri, “Kerja di rumah atau di kantor?”. Dan jawabannya masih sama seperti pekan-pekan sebelumnya, “Iya, masih di rumah.” Paling tambahannya, “Kalau mau ke kantor, dibolehkan. Tapi tetap dianjurkan di rumah.”

Kantor kami juga masih was-was dan mengambil sikap hati-hati soal “memulangkan” para karyawan ke gedung kantor. Topologinya mirip pabrik gitu. Luas, tanpa sekat, dengan udara yang bersirkulasi dalam bangunan saja. Which is, ini risiko banget menyebarkan virus. Apalagi, kami tidak menggunakan jasa asuransi. Bisa jebol kantong perusahaan kalau banyak yang sakit, periksa ke dokter, dan berobat dalam satu periode sekaligus ketika ada wabah–persis seperti sekarang ini.


Pada awalnya, Work From Home (WFH) disambut dengan gembira. Tidak menghabiskan waktu, uang bensin dan energi untuk commuting pergi-pulang rumah-kantor. Perasaan juga lebih lega. Kita kan tidak tahu persis ya rekan sekantor pergi ke mana saja. Sebab eksposur dari kantor juga sampai ke rumah kita — yang ujung-ujungnya pakai mampir ke anggota keluarga tersayang. Perlahan, rasa was-was lenyap.

Sirnanya kekhawatiran tersebut ternyata ilusi belaka. Sebab, orang yang positif/reaktif covid-19 juga tidak kunjung turun. Bahkan terus bertambah. Apalagi colaps-nya sistem kesehatan nasional kita seakan menunggu waktu. Yang akan terjadi kira-kira 6 bulan dari sekarang.

Indikatornya adalah menurunnya jumlah tenaga kesehatan (nakes) karena sakit dan diistirahatkan, hingga yang paling buruk: meninggal dunia. Okupansi (parameter yang biasanya dipakai hotel maupun tempat menginap lainnya) rumah sakit maupun puskesmas semakin meningkat. Bila ini terus terjadi, lama-lama fasilitas kesehatan akan menolak pasien. Fenomena yang sebenarnya sudah mulai terjadi, terutama di daerah-daerah.

FYI, saya follow akun twitter @firdaradiany karena di pandemi ini beliau menghimpun dan mengkompilasi berita-berita pandemi covid-19.

https://twitter.com/firdzaradiany/status/1293870835032236034

Kembali ke topik WFH. Kondisi yang memburuk akhirnya “menahan” saya untuk tetap di rumah. Baik untuk bekerja, maupun menghindari pertemuan atau interaksi yang kurang produktif di luar rumah. Sebelum pandemi ini, saya mudah sekali meng-iya-kan ajakan ngopi-ngopi dari rekan. Alias hangout yang sebenarnya tidak penting.

Terpaksa WFH

Namanya rumah ya lebih untuk tempat tinggal ‘kan. Kantor tempat bekerja. Fasilitasnya jelas beda. Kantor didesain dan direkayasa supaya “penghuni”-nya lebih produktif. Terutama lewat fasilitas kantor yang menunjang: meja dan kursi kerja, hingga cemilan supaya gak boring. Bila di rumah, terpaksa bekerja dengan fasilitas seadanya. Setidaknya di awal-awal WFH.

Bagi kebanyakan karyawan, bekerja jarak jauh (remote) itu terasa sendirian (feeling lonely). Rasanya seperti bekerja tanpa pengawasan oleh supervisor (atau team leader). Di sisi lain, tidak bisa komunikasi lisan secara langsung dengan rekan kerja. Jadi rasanya seperti bekerja seorang diri. Ini bisa berimbas pada turunnya produktifitas. Baik individu, tim, maupun perusahaan. Yang sangat mungkin terjadi pada perusahaan yang belum pernah membuka diri pada opsi flexible working.

Tantangan WFH

Tantangan utama WFH adalah bagaimana mempertahankan produktifitas tetap tinggi sebagaimana di kantor. Cara pertama dengan mempersiapkan diri dan perlengkapan sejak pagi hari. Misalnya dengan mandi pagi supaya segar, makan pagi supaya gak kelaparan ketika pekerjaan dimulai, maupun hal-hal remeh semisal menyapa rekan-rekan dengan ucapan selamat pagi atau selamat bekerja.

Dari saya pribadi, biasanya mempersiapkan pekerjaan, minimal dari disiplin menuliskan rencana kerja di pagi hari, dan menuliskan perkembangan (progress) maupun hasil kerja di sore harinya di jurnal pribadi saya yang khusus untuk pekerjaan.

Membiasakan WFH

Ketika WFH, saya amati ada dua hal yang sering terjadi. Ini bisa dijadikan tolok ukur apakah WFH benar-benar sudah terinternalisasi atau belum. Hehehe.

Pertama, lupa hari kerja. Rekan saya baru menyadari hari tersebut adalah tanggal merah setelah bekerja selama 4 jam. Cerita dari senior dosen: bikin event online, yang ternyata jatuh di tanggal merah.

Kedua, tidak mengetahui progress pekerjaan tim maupun perusahaan. Di sinilah pentingnya berbagi info mengenai apa yang sudah dan akan dikerjakan. Dalam bentuk standup meeting, aplikasi kolaborasi pekerjaan (salah satunya Trello), atau medium lainnya.


Meskipun opsi bekerja di kantor boleh diambil, namun kami sekeluarga memutuskan supaya saya tetap bekerja dari rumah. Ini adalah privilege yang kami tidak boleh lupa untuk syukuri. Sebab tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah.

Pada akhirnya, kami kembali pada kesimpulan bahwa tiap-tiap pekerjaan memiliki challenge-nya masing-masing. Yang harus turun ke lapangan, semisal para penjaja (salesman), tantangannya adalah soal disiplin memakai masker dan menjaga jarak. Sementara yang sudah WFH selama 6 bulan, tantangannya adalah bagaimana menyikapi ketidaksabaran diri sendiri.

Mudah-mudahan di Desember nanti ada kabar baik ya, mengenai vaksin untuk covid-19. Masih 4 bulan lagi. Aamiin.

Baca juga ya:

Work From Home https://infografik.bisnis.com/read/20200318/547/1215188/waktunya-bekerja-dari-rumah
Ini ada infografik yang menarik sekali dari @bisniscom mengenai Work From Home

2 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  1. kalau saya boleh menambahkan efek WFH adalah kuota jadi cepat habis. apalagi kalau mengharskan untuk komunikasi via google meet/zoom/video call. selain itu menimbulkan efek kejenuhan, dan bergantng pada gadget.

    daripada itu, kita patut bersyukur bisa sehat sampai detik ini. sedikit ngeluh banyak bersyukur agar imunitas baik, sehingga virus penyakit pun pergi. ^^