Tertipu (Investasi) Dulu Belajar Kemudian

Bagaimana saya menjadi lebih bijak dalam berinvestasi, pasca terjerat skema ponzi.

Pengalaman saya perihal penipuan investasi.

Peristiwa ini terjadi hampir 10 tahun lalu. Zaman masih bodoh dan naif. Hahaha.

Waktu itu baru memulai bekerja di perusahaan. Masih meraba sana-sini soal bisnis. Industri apa, produknya apa, kira-kira berapa marjin keuntungannya.

Jadi, sudahlah masih belajar (baca: bodoh), naif (baca: serakah) pula.

penipuan investasi
Uangnya banyak banget sampai gak masuk koper ya? Tunggu dulu, apa benar itu semua uang dia?

Cerita penipuan investasi ini berawal dari saya dapat kenalan dari seseorang yang saya juga belum terlalu kenal, sebetulnya.

Orang ini butuh modal untuk membiayai proyeknya. Produknya pesanan/orderan busana muslim. Kalimat andalannya,

“Ada PO nih, kang. Mau ikutan, tidak?”

Dia menjanjikan laba 10%. Jadi kalau setor modal Rp2juta, baliknya Rp2,1juta. Kalau Rp5juta, kembalinya Rp5,5juta. Komitmennya dia dalam sebulan hasil sudah dibagikan.

Saya bertemu si beliau ini di warung ramen miliknya di lokasi kost-kostan yang dekat dengan suatu universitas swasta di Bandung. Dia bercerita tentang proyek fesyen yang digelutinya.

Singkat cerita, saya tandatangani kontrak lalu saya transfer ke rekening bank miliknya.

Sesuai komitmen, sebulan kemudian dia mengontak saya untuk pengembalian modal berikut bagi hasilnya. Dan seperti janjinya, hasilnya menggiurkan. Sepuluh persen dalam 30 hari saja. Tetapi diikuti dengan tawaran lain,

“Mau dilanjut gak, kang?”

atau,

“Mau tambah modalnya gak, kang? Sama. 10% per bulan”

Kalau belum waktunya si duit dipakai, saya setuju untuk diputar lagi.

Sesekali, jika ada dana menganggur, saya memasukkan tambahan modal ke “usaha”-nya dia.

Tapi jika sedang ada kebutuhan, saya menarik modal berikut hasilnya tersebut. Lebih sering via transfer, tapi 2-3 kali saya terima kontan (cash). Salah satu tempat saya bertransaksi adalah warung ramen miliknya. Bukan di tempat yang pertama, tapi di dekat kampus swasta yang lain. Jadi, hanya dalam 2-3 bulan saja, rupanya dia sudah membuka cabang yang baru.

Pada suatu malam, saya masih di kantor, tiba-tiba saya dapat kabar mengejutkan. Bahwa, si beliau ini mulai tidak bisa membayar. Alias “mengembalikan” modal berikut hasil yang dijanjikan.

Memang sih, belakangan itu mulai telat. Dari beberapa hari menjadi 1 pekan, lalu menjadi 2 pekan.

Nah dari sanalah mulai terkuak bahwa saya dan seorang teman (yang saya ajak sendiri) mengetahui bahwa “korban” yang seperti kami ada banyak. Ada puluhan orang dengan kumulatif outstanding (yaitu total rupiah yang harus dikembalikan) sebesar 2-3 milyar rupiah. Ada yang berani meminjam saudara/keluarga hingga menyetor lebih dari Rp100juta. Saya sendiri terjerat di kisaran puluhan juta.

Pada suatu weekend, rekan-rekan “investor” yang sudah tidak sabar lagi datang menyerbu rumah beliau yang notabene masih tinggal bersama orang tua. Rekan-rekan yang kalut tersebut menyerang dengan kata-kata dan mencaci orang tua si pengelola dana ini.

Saya lebih banyak diam. Saya lebih banyak merenungi sikap dan tindakan saya sendiri terhadap dana yang menjadi kelolaan saya. Yang seharusnya bisa saya pertanggung-jawabkan dengan lebih baik untuk saya, keluarga, dan rekan-rekan yang menitipkan modal dan kepercayaannya.

Teman-teman yang paham situasinya akhirnya memilih untuk merelakan. Lain halnya dengan yang tidak menerima penjelasan saya, memilih agar saya menggantikan uang yang hilang tersebut. Saya berusaha menyelesaikan tanggung jawab tersebut. Alhamdulillah lunas semua tidak lama kemudian.

Antisipasi Penipuan Investasi

Sebenarnya, saya sudah punya feeling sejak bertamu ke warung ramen cabang kedua. Tetapi, saya terlalu positive thinking untuk mempertanyakan kenapa bisa secepat itu membuka cabang kedua. Seharusnya saya bisa lebih kritis dalam mencari tahu duitnya dipakai untuk belanja apa dan berapa sebenarnya hasil dari semua perputaran tersebut.

Pelajaran yang Diambil Pasca Mengalami Penipuan Investasi

Berikut adalah beberapa pelajaran keuangan, khususnya mata pelajaran investasi yang bisa dipetik:

Kenali apa itu Ponzi

Apa itu skema Ponzi, siapa itu Charles Ponzi, dan skema apa yang dilakukannya. Referensi tentang Ponzi sudah terlampau banyak sehingga teman-teman bisa membacanya sendiri.

Sekedar contoh, ini juga termasuk skema Ponzi:

Hal ini berangkat dari Jiwasraya yang menjanjikan fixed return kepada nasabah dengan rate sampai dengan 14 persen dan memberikan garansi jangka panjang untuk nasabahnya yang membeli produk JS Saving Plan. Menurut Hexana, skema ini membuat perusahaan harus menggunakan setoran premi dari anggota untuk membayarkan klaim yang jatuh tempo setiap hari.

https://www.republika.co.id/berita/qrs83n318/generasi-instan-dan-fenomena-ponzinomics-di-indonesia

Belajar Sabar

Seperti saya sudah bilang di atas, referensinya sudah banyak banget. Baik tentang Ponzi maupun skema-skema penipuan lainnya. Namun, yang gak bisa dipelajari tetapi harus dipraktikkan adalah belajar sabar.

Ini tantangan berat sebenarnya ya. Mengingat internet dan generasi milennial sudah pula lahir bersama, tumbuh-besarnya juga bersama-sama. Dan salah satu ciri khasnya adalah suka yang instant-instant. Alias, tidak mau bersabar.

Padahal, kunci dari investasi adalah sabar. Sebagaimana Warren Buffet bilang, bunga yang berbunga-bunga (compound interest) adalah teman baiknya investor. Tetapi, investor butuh waktu. Alias investor harus belajar sabar.

Mengelola Harapan

Sabar itu bukan hanya sabar menunggu dan menjalani waktunya ya. Tetapi yang termasuk dalam sabar adalah dalam mengelola harapan (set the expectation).

Bahasa keuangannya adalah “kenali instrumen investasi yang anda pilih“. Maksudnya adalah ketahui segala keuntungan, stabilitas, dan risiko dari produk investasi tersebut.

Dari sisi pemberi dana, kita bisa membagi dua ya. Ada kreditur (pemberi hutang) dan ada investor. Pemberi hutang, seperti bank, biasanya meminta pengembalian yang pasti jumlah dan pasti (terjadwal) waktunya.

Sementara itu, apa yang seharusnya diterima oleh investor? Yaitu kenaikan harga saham (ketika dijual kembali) dan dividen (sisa hasil usaha setelah dikurangi dengan laba ditahan).

Itulah mengapa saya berikan tanda kutip pada salah satu kata “investor” di atas. Karena menyebut dirinya investor, tetapi menghendaki hasil yang tetap dan diterima sesuai jadwal.

Bagaimana Saya Sekarang?

Lama sudah sejak peristiwa yang saya ceritakan di atas, yang terjadi saat ini adalah:

  • Saya yang sekarang lebih santai, alias lebih sabar, dan tentu saja tidak bersikap instant dalam menunggu dan menjalani investasi.
  • Dan semakin saya mengenal profil risiko saya pribadi, saya akhirnya lebih banyak memilih instrumen investasi yang lebih aman. Ada kriteria aman yang puluhan tahun digunakan, yaitu 5C: Charater, Capacity, Capital, Condition, dan Collatera.
  • Seiring dengan semakin paham dan bijaknya saya melihat suatu peluang bisnis, saya jadi lebih “egois” juga untuk tidak berbagi risiko dengan orang lain. Iya, donk. Kalau berkolaborasi dalam investasi, hendaknya rugi sama-sama dan untung juga bersama-sama. Kalau hanya mau untungnya saja, tapi tidak mau ruginya, itu namanya serakah.

Demikian cerita saya kali ini, semoga ada hikmah yang bisa diambil ya.

Oiya, di bawah ini ada beberapa insight soal financial planning. Mudahan-mudahan bisa bermanfaat juga.


4 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  1. Untuk beberapa karakter orang, terutama keras kepala, belajar memang mahal harganya. Bisa habis waktu, uang, tenaga, atau ketiganya. Syukurlah menyadari di masa muda ya Pak. Hehehe..
    Rumah tangga juga begitu, rugi sama-sama, untung juga sama-sama.

  2. Susah emang bang kalo udah teriming2 return besar. Dan poin kenali instrumen investasi emang bener banget. Sebelum berinvestasi swbaiknya kenali diri dulu, profil resikonya gimana terus pilih investasi.

    • Ya itu dia. Kita harus kenal kita invest di industri apa. Misal bikin restoran atau usaha kuliner jenis lain. Itu harga jual kan setidaknya sudah 2x lipat dari harga pokok produksi (HPP). Contoh lain, proyek konsultasi yang marginnya bisa puluhan persen dari nilai jual-nya. Dari dua contoh ini saja, kita bisa belajar bahwa margin tiap bisnis itu berbeda-beda, maka laba ditahan juga berbeda, apalagi dividen yg bisa diterima oleh investor akan berbeda-beda lagi. Makin kecil marjin laba, makin kecil pula keuntungan yang bisa dibagikan.
      Dalam kasus yang saya ceritakan, bagi hasil 10% itu bisa diraih pada marjin laba berapa persen? Kalau memang marjin labanya cukup besar, katakanlah 30%-50%, lalu kenapa kita harus tarik investasi dari luar untuk memperbesar perputaran? Mengapa tidak ambil dari laba ditahan saja supaya mengurangi risiko dengan investor? Kekritisan semacam ini yang harus kita hadirkan bila kita menjadi investor.