Cara Mengelola Uang Supaya Hutang Hampir Nol

Hutang ini tidak diinginkan, tapi sulit dihindari. Inginnya nol, tapi susah sekali. Jadinya hampir nol saja.

Kalau harus berhutang, mau berapa, ke mana, dan berapa lama? Untuk diri saya, pertanyaannya saya balik: berapa lama, berapa kemampuan saya mencicil, dan dari keduanya baru akan ketahuan: berapa banyak? 

Lama Pinjaman 

Kita kan tidak tahu ya, kita akan hidup berapa lama. Jadi durasi hutang menurut saya harus sesingkat mungkin. Dari sana, baru dikalikan dengan kemampuan kita membayar cicilan. Akan ketemu berapa nilai uang yang layak kita pinjam. 

Kemampuan Mencicil 

Dalam persentase, ada yang menyarankan 30% untuk cicilan. Atau sepertiga, alias 33.33%. Dengan 33% yang lain untuk pengeluaran rutin, dan sepertiga sisanya tabungan dan investasi. 

Serba sepertiga ini hanya salah satu aliran pengelolaan keuangan, ya. Masih banyak aliran yang lainnya. Yang saya berikan contoh, hanya aliran yang saya praktikkan saja. 

Di suatu bank, pernah ada yang promo ke kantor kami, untuk gaji di atas 15 juta, cicilan KPR-nya dibolehkan hingga 50%. 

Jumlah Hutang 

Dari sini, dapat kita hitung, berapa jumlah uang yang layak kita pinjam, yaitu hutang yang mampu kita lunasi. Yaitu, mengalikan lama pinjaman dengan kemampuan mencicil tersebut. Sebagai catatan, mengambil hutang di Bank itu bisa jadi dikenakan biaya tambahan semacam biaya provisi (secara bahasa, provisi berarti pengadaan ya), biaya administrasi (urusan hitam di atas putih ini dikenakan biaya), dan lain sebagainya. 

Cara menagih hutang kepada teman

Kalau dari saya, prinsip saya memberi piutang, saya harus melihat kemampuan saya dulu. Artinya, berapa banyak yang bisa saya ikhlaskan, andaikan uang tersebut tidak kembali sama sekali. Jadi memang, niat memberi pinjaman untuk menolong. Bukan untuk mendapat keuntungan. Sependek pemahaman saya, untung dari pinjaman adalah riba. Dan itu yang dilarang dalam agama saya. Saya berusaha istiqomah menjalankan hal tersebut. 

Raditya Dika, dalam salah satu konten YouTube-nya, pernah menyatakan bahwa dirinya merasa lebih baik berjual-beli sesuatu dari si teman, daripada harus meminjamkan uang kepada teman. Paham, tidak? Ilustrasinya begini. Misal si teman butuh satu juta rupiah. Instead of meminjamkan, Bang Radit merasa lebih baik memberi pekerjaan kepada si teman senilai satu juta rupiah. 

Kembali ke soal teman yang punya hutang kepada kita. Tentu kita tagih dengan seramah mungkin. Tidak perlu galak. Bila dia membutuhkan tambahan waktu, sebaiknya kita berikan. Sudah seharusnya dia akan mengembalikan yang dipinjam, ‘kan? 

Soal ini, sependek pemahaman saya, mereka yang membebaskan hutang, akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat. Baca juga: memudahkan orang yang berhutang

hutang

Supaya lebih ikhlas perihal hutang yang tidak dibayar, saya biasanya mengingatkan diri saya untuk bekerja lebih keras. Di antaranya adalah bersilaturahmi dengan wajah-wajah baru. Barangkali dari hubungan tersebut ada rezeki yang bisa menggantikan nilai hutang yang tak terbayar. Selain itu, juga “mempertajam” penawaran (offering) barang/jasa ke pelanggan. 

Sebelum memberi pinjaman, boleh donk kita berpikir seperti Bank. Ada prinsip 5C yang biasanya diagung-agungkan: character, capacity, capital, collateral, condition. Untuk hutang pribadi, saya lihatnya dua saja. Karakter: orangnya bertanggung-jawab (amanah) atau tidak. Orangnya juga harus bisa kita hubungi/temui. Jadi kita tahu rumahnya. Kolateral, tidak mesti barang fisik sebagai jaminan ya. Tapi kestabilan pendapatan dan nilai pendapatannya. 

Utamakan Hutang Produktif 

Hindari hutang konsumtif. Ini aplikasinya beda-beda ya di setiap orang. Kalau saya, rasanya adalah dengan tidak menggunakan kartu kredit (CC). Karena belanja mudah sekali dengan menggunakan CC. Bisa lupa batas (limit) anggaran. Lagipula, saya bukan yang detil soal diskon, cashback, dan sejenisnya itu. “Pancingan” memakai CC kan promo potongan tersebut, ya. Kalau saya butuh/ingin, ya langsung saya bayar, hehe. 

Hutang pribadi atau rumah tangga yang produktif, mungkin hutang KPR ya. Karena harga tanah dan bangunan -biasanya- naik terus. Tapi produktif atau tidak sebenarnya case-by-case, siy. Salah beli tanah/bangunan, ekstrimnya bisa rugi juga. Lagipula, benar-benar menghasilkan kan kalau tanah tersebut dijual lagi. Which is, dalam kebanyakan kasus di wilayah yang sudah ramai penduduknya, harga tanah sudah sedemikian tinggi sehingga calon pembeli semakin sedikit. Alias, nilai di atas kertas doang yang tinggi, tapi menjualnya ya susah, hehehe. 

Konon, investor macam Robert Kiyosaki -selain game Cashflow Quadrant, dia ada perusahaan properti– hanya membeli satu dari seribu tanah/bangunan yang dia tengok. 

Bagaimana dengan hutang untuk usaha/bisnis? Mengambil hutang begini tidak boleh untuk sembarang belanja modal (capital expenditure) atau belanja rutin (operational expenditure, opex). Karena harus dihitung benar efeknya terhadap pertumbuhan (growth) omzet, klien, dsb. Kalau cuma tambal sulam, lebih baik tidak hutang sekalian. 

Simpulan menurut saya siy, kalau mau hutang produktif, sekalian aja bikin tim, bikin badan hukum (PT/CV), rencana yang detil, target yang terukur, eksekusi yang mantap, dan seterusnya. 

Baca juga: Hierarki Pengelolaan Keuangan

2 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.