Quarter-Life Crisis

QLC itu masa-masa di persimpangan pilihan-pilihan kehidupan. Yang mengalami biasanya berada di rentang usia dua puluh-an sampai tiga puluh-an.

Kalau saya dulu, mengalami Quarter-Life Crisis (QLC) jelang lulus S1 kali ya. Belum tahu mau aktif dan fokus di bidang apa. Bukannya belum tahu sama sekali, tetapi saya jelas berminat dengan bidang marketing. Yeah, karena masih bingung, jadinya ambil S2 dulu. Rencana bergelar master jelas ada. Tapi berhubung life plan (rencana hidup) masih kacau, jadilah S2 disegerakan pasca lulus S1.

BACA JUGA: Kesehatan Mental Anak-Anak dan Remaja di Masa Pandemi.

Belakangan saya baru menyadari, mahasiswa S2 kekinian itu makin muda. Alias belum lama lulus dari S1-nya. Bahkan banyak yang langsung S2 setelah lulus S1. Salah satu sebabnya menempuh pendidikan master adalah karena belum tahu apa yang mau dilakukan dalam hidup. Sad, but it’s true.

S2 kelar, tapi sadar jiwa ini butuh otoritas tinggi, jadinya ngotot gak mau di big company yang team, culture and business process-nya jelas-jelas sudah established selama puluhan tahun. That’s why kemudian saya bergabung dengan sebuah strategic marketing consultant (paham ‘kan ya mengapa memilih marketing) yang baru berdiri satu tahun oleh seorang yang berpengalaman lebih dari lima belas tahun.

Lega sudah untuk urusan pekerjaan; meskipun masa depan karirnya belum jelas benar. Berisiko banget memang saat itu. Karena kalau company-nya tumbuh, maka saya mungkin akan jadi satu di antara para “Dewa”-nya (meski bukan founder).

Urusan kerjaan udah fixed (dengan gaji gak sebesar multinational company tentu saja) namun urusan pernikahan dan berkeluarga malah kacau alias mundur. Yang ditargetkan menjadi pasangan ternyata bukan yang ditakdirkan.

Ketemu dengan calon yang sekarang jadi istri, akhirnya kami menikah dengan pekerjaan saya yang gak stabil-stabil amat, career path gak jelas, pendapatan juga masih pas-pasan, QLC belum berakhir juga. Faktanya, kami masih LDM. Bagaimana tidak dag-dig-dug terus setiap hari.

Titik Balik

Alhamdulillah akhirnya “kembali” ke karir yang dicari-cari. Hidup berumah-tangga juga semakin baik: peran sebagai suami dan ayah semakin bisa dijalankan. Waktu habis tidak hanya untuk pekerjaan utama. Alhamdulillah bisa menabung dengan lumayan.

Intinya, semakin menua umur ini dan semakin bijaknya diri ini, maka semakin mampu menyadari dan mensyukuri apa-apa yang dimiliki. Tanpa harus iri atas apa yang tidak menjadi milik sendiri. Syukur bila punya, tidak mengapa bila tak berpunya. Coba baca juga tentang filosofi Stoic.

Maaf, curhatnya kebablasan. Back to topic.

Sebab QLC

Biasanya quarter-life crisis dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini (salah satu nilai-nilai ini seputar religiusitas/spiritualitas). Intinya adalah anxiety (kegelisahan) yang bisa disebut berlebihan. Bawaannya galau terus. Banyak topik sekaligus yang menjadi sumber kegalauan. Yang mana, tiap topik malah terkait dan bersifat sebab-akibat dengan topik-topik lainnya.

Saya seorang milenial. Kalau kamu juga milenial, kemungkinan, QLC kamu disebabkan satu di antara dua yang berikut:

  • Aneka fasilitas dan pilihan kemungkinan yang tersedia menyebabkan orang justru stagnan. Jika dibandingkan generasi-generasi terdahulu, milenial dan generasi setelahnya tergolong beruntung karena dapat mengecap beragam kemudahan atau akses yang membuat hidup lebih baik: dari segi peluang kerja, pendidikan, akses kesehatan, keamanan, dan sebagainya.
  • Soal pekerjaan, seperti ditulis Forbes, generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah untuk mendapat uang semata, sementara sebagian milenial merasa pekerjaan adalah sesuatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terkait hal yang disuka atau bisa mewujudkan mimpi-mimpinya (Tirto, 2019).

QLC’s Common Problems

Lalu, apa saja persoalan yang khas dengan Quarter-Life Crisis?

  • [KARIR] Galau soal personal development. Mau ambil S2 atau kursus di mana? Termasuk soal biayanya dari mana dan kapan sebaiknya S2.
  • [RELASI] Nikah sama siapa, dan kapan nikahnya. Nikah sama teman yang sudah kenal lama ya gimana gitu ya, tapi nikah lewat cara ta’aruf ya gimana juga gitu. Masing-masing ada plus-minusnya. Kita yang biasanya kelamaan pilih-memilihnya sehingga jadi galau sendiri.
  • [KARIR] Kerja kantoran atau jalani passion? Boro-boro memilih ya, seringkali apa passion juga belum tahu since Passion is Overrated. Topik ini termasuk gaya hidup dan pendapatan. Passion erat dengan freelance yang awal-awal dijalani terasa berat dan feel lonely gitu. Kalo cari duit besar, ya kerja di kantor besar, meski belum tentu happy dengan peran yang didapatkan.
  • [FINANSIAL] Teman sekolah atau kuliah sudah memiliki (setidaknya masih mencicil) tempat tinggal (rumah, apartemen, dll) atau kendaraan (mobil, motor). Sudah travelling ke sana kemari, dalam dan luar negeri.

Saran-Saran

Terus, apa yang bisa saya sarankan?

  • [RELIGI] Jalani hidup dengan syukur dan sabar. Syukur kalau sudah punya, sabar kalau belum kesampaian.
  • [KARIR] Miliki rencana. Apa targetnya, dan kapan dicapainya. Tapi jangan kelewat baper, kalau melenceng sedikit, hatimu (bukan hatinya) yang akan sakit. Plan for the best, Prepare for the worst, Be ready for surprise. Saran lain: Don’t overmanage your career.
  • [RELASI] Kendalikan eksposur dari konten-konten socmed yang ambis(ius). Setir dan kendalikan hidupmu sendiri. Jangan biarkan konten socmed yang menyetirmu.
  • [RELASI] Perbanyak silaturahmi. Bukan dengan geng kantor, keluarga, atau tetangga. Salah satu target silaturahmi adalah mereka yang sekitar 10 tahun lebih tua. Mungkin mereka punya pendapat/nasihat untuk dibagikan denganmu. Supaya sehat psikismu.
  • [FINANSIAL] Miliki rencana keuangan (finansial plan). Utamakan menabung, lalu investasi. Tidak semua orang butuh travelling. Introvert seperti saya, malah lebih happy di rumah daripada keliling-keliling di weekend atau hari libur.
  • Jangan biarkan orang lain mengambil keputusan untuk Anda. Tentu kita harus mengambil referensi seluas-luasnya, meminta pertimbangan sebanyak-banyaknya. Namun keputusan harus kita yang ambil. Karena hanya kita yang merasakan akibatnya sendiri (atau sendirian).

Demikian, sedikit yang bisa saya bagikan ttg Quarter-Life Crisis. Apa kamu ada cerita juga? Yuk, berbagi lewat kolom komentar di bawah ini ya.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *