Jurnalistik Pra dan Pasca Internet

Sebagai generasi yg merasakan zaman sebelum adanya internet, izinkan saya kilas balik bagaimana jurnalistik dan pemberitaan berlaku sebelum dan sesudah adanya internet.

Pra internet

Pertama, jurnalis turun langsung ke lapangan guna merekam data fakta: foto, suara, video. Termasuk mewawancarai narasumber.

Kedua, ada jeda antara satu publishing berita dgn publishing berikutnya. Jeda ini melegakan jurnalis dan editor karena masih ada waktu utk melakukan penyuntingan.

Ketiga, sekolah-sekolah formal seperti program ilmu komunikasi, broadcasting, jurnalistik dan lain-lain menjadi sumber utama penghasil tenaga kerja industri media.

Pasca adanya internet

Berita bisa langsung menemui audiens-nya via jalur internet tanpa jeda antar publishing.

Jurnalis terkesan malas turun ke lapangan; kesan ini muncul karena mengambil informasi dari sumber lain yg lebih primer. Sehingga terkesan meninggalkan kedalaman berita. Jadi, membuat berita dari berita yg sudah ada tanpa mengambil dari sumber pertama.

Bertumbuhnya concern ke pageviews dan metrik-metrik digital lainnya. Tidak heran click bait -suatu teknik utk menaikkan pageviews- menjadi keharusan utk diterapkan di produk jurnalistik. Click bait hanya salah satu parameter ya.

Contoh. Satu kali interview bisa jadi banyak URL/page berita. Satu page satu angle berita. Kan satu page berita berarti satu click bait.

Perusahaan berita tidak segan-segan membuat halaman berita berisi profil atau data pribadi tokoh populer, termasuk politisi, artis, atau selebgram. Tidak hanya kantor berita yg riil, ada kategori website yang melakukan praktik ini demi dapat page views. Hal tersebut merupakan dampak dari fakta bahwa pencarian profil tokoh yang sedang populer memberikan pageviews yang tinggi.

Contoh, misalnya sedang ramai tentang Eliezer. Maka page berisi profil atau informasi pribadinya akan ramai dicari dan dikunjungi netizen.

Sekolah formal tidak lagi satu-satunya penghasil tenaga kerja industri media. Selama mau terjun langsung menekuni social media, maka karyanya sudah bisa disebut ‘portfolio’ dan aktivitasnya dikategorikan ‘experience’. Keduanya bisa dijual untuk mendapat proyek atau pekerjaan.

From consumer to prosumer

Netizen wajib dilihat sebagai konsumen sekaligus produsen berita. Jadi berita dibuat utk konsumsi mereka dgn tetap mempertimbangkan seberapa besar mereka bisa ikut berpartisipasi dalam penyebaran informasinya.

Minimal, netizen berpartisipasi via reply comment, repost, atau sejenisnya. Partisipasi netizen diukur dari engagement. Tidak heran, selain dipublikasikan di website, berita juga di-post di social media. Demi menaikkan engagement-nya.

Sejalan dengan click bait yang sudah disebut di atas, akhirnya engagement bisa naik kalo dipancing dengan penyajian yang berbau click bait.

Important note

Patut banget diingat bahwa sementara internet membuat banyak perubahan, namun prinsip-prinsip utama jurnalisme yg membuat jurnalis dan kantor berita tetap dibutuhkan adalah sama, yaitu akurasi, keadilan, dan obyektivitas.

(1) The Rise of Digital Journalism: Past, Present, and Future. https://online.maryville.edu/blog/digital-journalism/.
(2) The Internet: How It Changes Everything About Journalism. https://niemanreports.org/articles/the-internet-how-it-changes-everything-about-journalism/.
(3) The Difference between Journalism and Public Relations. https://www.umn.ac.id/en/the-difference-between-journalism-and

One comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.