Model Bisnis Media 2020

Sebuah pengakuan penikmat media gratisan.

Namanya konsumen, ‘kan seringkali kita membeli ya. Saya dulu sempat berlangganan harian Kontan; bayar supaya dapat informasi keuangan. Waktu kecil, saya pembaca setia majalah Bobo. Tapi yang bayar orang tua. Selain dari menjual tiap eksemplarnya –yang mungkin masih lebih rendah daripada biaya produksinya– perusahaan media hidup dari iklan.

Tidak hanya media cetak yang ‘makan’ dari uang iklan, tetapi juga media radio maupun televisi. Meski kita tidak membayar siaran radio maupun televisi, selalu ada broker (agensi?) media yang membeli slot iklan.

Nikmat gratis ini kemudian semakin bertambah di era internet. Daripada membayar koran Kompas atau tabloid Fantasi, lebih baik beli kuota internet kan. Apalagi sudah eranya citizen journalism, kan. Entah via twitter, blog, atau YouTube, kita sudah mendapatkan berita. Meskipun twitter bersifat amplifikasi instead of memproduksi berita ya. Beritanya bisa jadi dari tirto.id atau kumparan.com.

FYI, pandemi rupanya menimbulkan lubang besar yang menganga di jurnalisme kita. Laporan Remotivi menyampaikan demikian. Sebagaimana banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan para karyawannya.

Produk jurnalisme via Twitter, Blog, maupun YouTube kan seringkali dan banyak kali masih bersifat personal kan. Artinya, kegelisahannya masih seputar individu tersebut.

Hal tersebut, dalam kacamata industri media, berbeda dengan kita sebagai kesatuan masyarakat yang membutuhkan berita politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya yang idealnya mampu disediakan oleh tim, brand, atau perusahaan media tertentu.

Baca Juga: Jurnalistik Pra dan Pasca Internet.

Informasi demikian adalah penting karena selain sebagai informasi itu sendiri, juga menjadi bahan analisis atau rujukan sebelum melakukan aktifitas. Apalagi negara kita masih mengaku sebagai negara demokrasi. Di mana, media adalah pilar keempat demokrasi yang keberlangsungannya (sustainability) sebagai industri wajib kita pertahankan di tengah berbagai disrupsi yang terjadi.

Internet-based Media

Media sudah, sedang, dan akan terus berdamai lalu berkawan dengan pendisrupsi seperti internet.

Dulu, kita bisa lenggang kangkung menikmati media secara “gratis”. Karena dibalik layar ada berbagai perusahaan yang mau membayar media cetak, radio maupun televisi demi mendapat slot iklan. Perusahaan media hidup dari iklan.

FYI, combo(?) internet+pandemi memaksa terjadinya PHK di beberapa perusahaan media. Terus, mereka pindah ke mana?

Haikel menemukan bahwa semakin banyak jurnalis pindah ke profesi “communication” atau dengan kata lain, berpindah dari wartawan menjadi communication officer di perusahaan swasta atau LSM.

Mengandalkan iklan tradisional saja sudah ditinggalkan oleh pemain media kita. Bahkan ada media digital yang engineering-nya saja sangat berbasis iklan (digital). Sebut saja detik.com dan tribunnews.com.

Adaptasi ke digital tersebut diikuti dengan kelemahan lain: terlalu banyak iklan akan membuat media tersebut “ditinggalkan” oleh pembacanya. Artinya, engagement yang terjadi tidak sampai ke hati pembaca. Sesuai promise-nya, hanya kecepatan yang mereka berikan; pembacanya pun hanya meminta kecepatan. Soal aktual, tajam dan terpercaya ya nanti dulu.

Saya lihat, kepercayaan (trust) konsumen media adalah buah dari ketajaman pemberitaan. Tantangan cost dari berita yang tajam adalah manhour/mandays-nya lebih tinggi daripada berita-berita 5W1H semata. Dalam ilmu bisnis secara umum, makin tinggi cost-nya, price tag-nya juga lebih tinggi, donk.

Strategi Media Online

Model bisnis (dan strategi harga) yang tepat untuk hybrid media (omnimedia) adalah freemium. Ada yang gratis (free) untuk menarik massa dan menaikkan ranking Alexa. Ada juga yang berbayar untuk menopang yang gratis.

Apa saja layanan yang mungkin berbayar atau menjadi alasan bagi konsumen untuk mengeluarkan uang? Berikut beberapa contohnya.

  • theguardian.com, ada opsi untuk sekali bayar “contribute“, atau bayar rutin “subscribe“.
  • remotivi, bisa kontribusi via kitabisa.com atau belanja produk merchandise di IG @tokoremotivi
  • lakukan funneling (register and login) dulu, monetisasi kemudian seperti kompas.com
  • dan lain sebagainya (event, grants, syndication, sponsored content, consulting and training)

Bagaimana dengan Blogger?

Blogger sebagai media dalam skala individu, maupun pelaku citizen journalism, juga tidak luput dari operational cost, ‘kan. Apalagi yang sudah menggunakan TLD (top level domain) dan paid hosting.

Apa saja yang bisa dilakukan blogger?

  • Punya produk/merchandise untuk dijual.
  • Punya jasa untuk dijual. Either jadi blogger dulu baru bangun keahlian, atau kamu adalah ahli yang kemudian masuk dunia blogging.
  • AdSense. Saya taruh nomor tiga karena nilainya tidak terlalu besar.
  • Open donation. Ini lebih mengenaskan daripada AdSense. Kalau bukan penulis dengan personal brand yang sudah jadi, mengapa pembaca harus membayar kamu?

Demikian sekelumit isi kepala saya di akhir pekan ini. Ada pertanyaan atau pengalaman terkait? Mohon dibagikan di kolom komentar, ya 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *