Gagap Etika dan Perilaku Negatif dari Netizen Indonesia

Post ini adalah nomor 18 dari 18 dalam serial Digital Citizenship

Netizen dari Indonesia yang jumlahnya ratusan juta itu dikenal kreatif dan memiliki solidaritas tinggi.

Namun di sisi yang berseberangan, setidaknya ada tiga perilaku netizen indonesia yang meresahkan, yaitu doxxing, bullying dan spamming.

Perilaku Negatif

Doxxing adalah mengumpulkan data pribadi untuk disebarluaskan di dunia maya guna mengganggu atau merusak reputasi seseorang.

Bullying adalah tindakan penindasan atau kekerasan yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain.

Sedangkan spamming sendiri berarti tindakan mengirimkan pesan yang tidak diinginkan (promo komersial, non-komersial, atau berbahaya) atau tidak dibutuhkan oleh si penerima.

Ujian kebencian dan hoax juga tidak kalah marak berlangsung pada momentum pemilihan umum (Pilpres, Pilkada) dan pandemi Covid-19.

Di momen pandemi Covid-19 yang lalu juga ada banyak hoax yang diproduksi dan disebarkan. Kominfo menyebut ada 1200-an hoax mengenai pandemi covid-19 di tahun 2020 saja.

Gagap Etika

Adanya gagap etika antara dunia virtual dengan dunia realita. Gagap etika ini ada beberapa sebab. Either kita masuk virtual tidak ada yang menyadarkan bahwa dunia online itu ya sama saja dengan dunia riil, maupun yang mengajarkan etika online.

Di Indonesia, selain untuk bersosialisasi, social media juga digunakan oleh penggunanya sebagai alat untuk mencari dan mendapatkan perhatian dari publik. Perhatian tersebut kemudian digunakan untuk menyampaikan pesan, maupun mendapatkan keuntungan komersial.

Ini ada hasil riset yang menarik mengenai bagaimana remaja internasional (usia 13-16 tahun ketika penelitian dilakukan). In short, remaja-remaja ini mendorong peningkatan positif di dunia internet

Remaja Dorong Peningkatan Positif

Remaja (usia 13-16) ditemukan sebagai pendorong positif untuk peningkatan kinerja Digital Civility Index (DCI), dan mendapat skor 63 dalam ukuran kesopanan daring (online civility) secara global, dibandingkan dengan orang dewasa yang mendapat skor 72.

  • Di Singapura, remaja mendapat skor 50 pada DCI dibandingkan dengan 68 untuk orang dewasa, sementara
  • Taiwan juga melihat remajanya mendapat skor lebih tinggi daripada orang dewasa, yaitu 55 dibandingkan dengan 67.
  • Mencerminkan tren ini, tidak ada perubahan dalam skor DCI untuk remaja tetapi terjadi penurunan 16 poin di antara orang dewasa di Indonesia, sementara
  • Malaysia melihat skor orang dewasa turun tiga kali lebih banyak daripada remaja.

Untuk menciptakan internet yang lebih baik dan aman, Microsoft juga mendukung Digital Civility Challenge, yang menguraikan empat prinsip yang dapat diikuti oleh pengguna daring, yaitu:

Terapkan Golden Rules

Bertindak dengan empati, kasih sayang, dan kebaikan dalam setiap interaksi, serta memperlakukan setiap orang secara daring dengan bermartabat dan hormat

Hargai Perbedaan

Menghargai perbedaan budaya dan menghormati berbagai perspektif, terlibat dengan penuh pertimbangan, serta menghindari makian dan serangan pribadi. Agree to disagree.

Jeda Sesaat Sebelum Menanggapi

Berhenti sejenak dan berpikir sebelum menanggapi, serta tidak mengirim apa pun yang dapat menyakiti orang lain, merusak reputasi seseorang, atau mengancam keselamatan.

Bela Diri Sendiri dan Orang Lain

Memberi tahu seseorang saat merasa tidak aman, menawarkan dukungan kepada mereka yang menjadi sasaran pelecehan atau kekejaman daring, dan melaporkan aktivitas yang mengancam keselamatan

Remaja Dipengaruh Budaya Internasional

Para remaja pengguna internet tersebut tidak menaruh perhatian terlalu besar terhadap isu politik.

“Terus kalau mereka kan banyak sekali yang masuk K-Pop (kultur pop Korea Selatan). Nah di K-Pop itu kan interaksinya internasional, enggak hanya dengan teman-temannya di Indonesia saja, artinya budaya internasional itu kebawa,” ujar Fahmi. “Net-tiquette (kesopanan berinternet) nya kan kebawa. Mungkin anak-anak muda ini lebih banyak terpengaruh budaya luar ya, yang lebih menghargai”

Faktor Polarisasi

Polarisasi politik

Kita pernah kok mengalami perpecahan di grup keluarga karena perbedaan pilihan politik. Pemilunya kurang dari setahun. Tapi dampaknya pada hubungan keluarga inti maupun keluarga besar bisa seumur hidup. Saya melihat ada yang mulai belajar bahwa perbedaan pilihan politik tidak perlu sampai merusak silaturahmi dalam keluarga. Saling mempengaruhi dan mengedukasi tentu ada, namun ada batas-batas supaya hubungan antar anggota dalam keluarga besar tidak rusak sama sekali.

Polarisasi Agama

Merasa benar dengan apa yang diyakini, termasuk agama, bisa membuat kita menghakimi orang lain. Dan inilah yang terjadi di Indonesia ketika perbedaan keyakinan dibentur-benturkan sehingga terjadi polarisasi atau pengkutuban. yang mewarnai interaksi antar pengguna media sosial di Indonesia.

“Polarisasi itu bisa karena politik, bisa karena agama, dan biasanya orang kalau sudah merasa benar dengan pendiriannya itu udah bisa ngomong apa pun itu dengan sesama saudaranya, yang berteman pun bisa akhirnya musuh-musuhan,” kata Fahmi.

Peran Buzzer

Di satu sisi, fenomena buzzer sebagai pendengung digunakan oleh pemerintah untuk melakukan komunikasi publik kepada masyarat. Di sisi lain, buzzer malah memperuncing perbedaan. Perbedaan itu memang ada, namun buzzer membuatnya semakin tajam.

Demi memenangkan hati masyarakat pada salah satu topik, para pemain buzz bahkan memproduksi hoax. Social media di Indonesia memang dekat dan terasosiasi dengan hoax.

Buzzer, kemudian saling perang tentang hoax, itu adalah keyword-keyword yang langsung muncul ketika kita mendengar media sosial di Indonesia.

Buzzer memberikan contoh bagaimana polarisasi memaksa masyarakat untuk harus memihak salah satu kubu, sehingga kita menjadi sering bermusuhan. Dalam topik bubur diaduk dan bubur tidak diaduk saja kita diajarkan untuk “bermusuhan”.

Sebagai penutup, menurut saya etika berinternet dan kebencanaan lokal perlu mendapat tempat di kurikulum kita di sekolah-sekolah.

Reference:

Series Navigation<< Menggali Esensi Global Village: Keterhubungan, Budaya, dan Masa Depan Kita”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.