- Digital Citizenship – Kewarga(negara)an Digital
- Digital Law: Hukum-Hukum Terkait Digital yang Wajib Kita Ketahui
- Digital Etiquette: Memperlakukan Pengguna Internet Lainnya dengan Hormat
- Digital Downtime: Menurunkan Waktu Uptime untuk Menaikkan Kesehatan Fisik dan Mental
- Digital Commerce
- Digital Access for All
- Digital Literacy
- Menggali Esensi Global Village: Keterhubungan, Budaya, dan Masa Depan Kita”
- Digital Security
- Digital Health
- Netiquette dan Cyberbullying
- Case Study: Literasi Digital di SMP Tunas Unggul Kota Bandung
- How to Becomes a Digital Talent?
- Empat Cara Memberdayakan Social Media secara Bijak
- Menyikapi Informasi Penting Milik Pribadi
Konsep “Global Village” pertama kali diperkenalkan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1964 dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: The Extensions of Man. McLuhan, seorang pakar komunikasi asal Kanada, mengemukakan teori dan prediksi mengenai dampak dari perkembangan media elektronik di masa yang akan dating. Dia memberi sebutan “Global Village” pada imajinasinya tersebut. Sebagai konteks, kita tahu pada tahun 1964, teknologi seperti internet belum ada; yang tersedia hanya radio, televisi, telepon, dan telegram. Imajinasi McLuhan tersebut tentu didasari dengan asumsi bahwa akan muncul media-media baru berkat perkembangan kecanggihan elektronik.
Saat ini, di tahun 2025, kita jadi bisa mengkaitkan istilah “global village” tersebut dengan internet atau world wide web (www). Sesuai arti literalnya, www adalah jejaringan sangat besar yang menghubungkan seluruh dunia. Nah, jejaring ini tentu tidak hanya data atau informasi yang ditransmisikan lewat optic cable ya, tetapi juga jejaring barang dan uang.
Akumulasi ketiganya (informasi, barang, uang) melahirkan kota-kota seperti London, New York, Berlin, Tokyo, dan berbagai kota-kota global lainnya. Pada saat yang sama, semakin banyak pula kota atau daerah lainnya yang mengalami penurunan ‘kasta’. Sebut saja Hongkong (akibat ketegangan geopolitik dan dampak Covid-19), Sau Paulo dan Rio de Janeiro (masalah liveability dan prosperity), Athena dan Warsawa (kurangnya infrastruktur),
Pernah dengar gak, fenomena mati atau menghilangnya suatu Bahasa daerah, karena tidak ada generasi baru yang meneruskan penggunaan Bahasa tersebut? Salah satu sebabnya adalah adanya Bahasa internasional yang semakin meng-internasional karena bertambah para penggunanya dengan ruang lingkup yang lebih luas. Fenomena ini merupakan bentuk lain asimilasi budaya yang cenderung mengarah pada ‘penyeragaman’ budaya.
Contohnya adalah penggunaan Bahasa Inggris di Filipina yang semakin duduk berdampingan dengan bahasa lokal. Hal serupa juga terjadi di Malaysia dengan jamaknya warga Malaysia, khususnya etnis Inda dan Tionghoa yang tidak mampu menggunakan Bahasa Melayu. Di sisi lain, Bahasa Indonesia semakin populer, selain meluas ke berbagai negara lain di Asia Tenggara, juga lewat Kerjasama bilateral dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan layanan komputasi awan seperti Amazon Web Services (AWS) bahkan turut pilihan Bahasa Indonesia.
Persoalan dengan penyeragaman budaya adalah penyeragaman tersebut tidak menjadi satu dan satu-satunya budaya. Begitu pula dengan bahasan utama kita yang menjadi judul tulisan ini yang berarti tidak mungkin hanya ada satu ‘Global Village’.
Konsekuensinya adalah tidak semua orang merasakan perasaan “nyaman berada di rumah sendiri” atau “bersaudara dengan orang lain” dalam global village ini. Salah satu bentukan skala besar yang terjadi adalah kampung-kampung kecil dengan nilai-nilai kehidupan yang cenderung kebarat-baratan, sebagian besar disebabkan oleh internasionalisasi konten televisi dari Barat -demikian pula konten-konten digital lainnya memberikan dampak yang kurang lebih sama: Westernisasi.
Dalam kacamata pengasuhan, ini menjadi tantangan bagi kita untuk selalu berdialog dengan generasi muda, yang lebih cenderung mempercayai informasi dari media-media tersebut dibandingkan bimbingan orang tua yang merupakan warisan turun-temurun.
Melihat aliran uang yang semakin seamless antar negara, integrasi ekonomi global berupa barang, jasa, uang juga membawa risiko yang semakin besar, seperti krisis ekonomi yang dapat menyebar dengan cepat antar negara.
Contoh lainnya adalah ancaman terhadap kemandirian dan kepemilikan ekonomi nasional akibat ekspansi kapitalisme global melalui tangan-tangan Venture Capital. Sudah banyak startup-startup kita yang jatuh ke pelukan kapitalisme global dengan size yang begitu besar sehingga tidak ada celah kecil sekalipun yang memungkinkan pemain local-nasional untuk masuk.
Selain itu, migrasi internasional yang semakin meningkat merupakan indikasi lain Global Village. Di contoh tersebut, kita bisa menyimpulkan Gerakan #kaburajadulu yang viral merupakan kejenuhan terhadap pemerintah yang dinilai gagal dalam mempertahankan liveability dan prosperity. Bisa juga kita lihat sebagai eksekusi terhadap pilihan-pilihan untuk hidup di kota-kota global yang sudah disebutkan di awal tulisan ini.
Bila diteropong lebih jauh, situasi antar negara juga sama, yaitu adanya hegemoni negara-negara maju terhadap negara berkembang juga dapat memicu konflik antar negara lebih lanjut. Konflik-konflik ini bukan langsung jatuh pada konflik fisik semata, melainkan konflik budaya maupun konflik ekonomi lebih dahulu.
Namun, tidak semua Global Village berarti buruk.
Contoh positif dari global village adalah kemudahan akses pendidikan melalui e-learning, di mana guru-guru dari benua Amerika bahkan dapat mengajar mahasiswa dari regional yang jauh seperti Asia Tenggara.
Alih-alih “matinya” identitas dan budaya kita, sesungguhnya kita dapat melakukan “serangan balik” melalui internet dan migrasi untuk memperkenalkan identitas dan budaya Indonesia yang luhur. Untuk itu, meningkatkan kapasitas individu dan bangsa menjadi hal yang sangat prioritas. Akhir kata, tulisan ini mengajak kita untuk mempertanyakan Kembali jenis global village yang kita inginkan. Dengan kata lain, konsep global village yang pertama kali diperkenalkan oleh McLuhan tidak lagi relevan dengan kebutuhan kita saat ini. Kita menginginkan Global Village dengan pola relasi yang lebih setara, adil, dan bermartabat.