Jangan Mencari Bahagia

Ketika menulis post ini, vaksinasi sedang berlangsung. Tapi entah kapan tuntas mencapai herd immunity-nya. Bahkan, vaksin berbayar mulai ada. Start di jaringan Apotek Kimia Farma. Jadi, pandemi masih akan berlangsung dan masih akan lama baru tuntas.

Sebelum pandemi ini, banyak di antara kita berasumsi bahwa kepemilikan barang akan berdampak pada kebahagiaan. Rumah sendiri, mobil sendiri, dsb. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah.

Yang mungkin menjadi kurang tepat adalah ketika keinginan memiliki tersebut didorong oleh keterdesakan. Alias perasaan ‘secepat-cepatnya’.

Kita tahu, bahwa industri keuangan kita memungkinkan ‘nafsu besar tenaga kurang’ tersebut lewat produk-produk yang mereka tawarkan: Kredit kepemilikan Rumah (KPR), kredit mobil, kredit perlengkapan rumah tangga (kulkas, dispenser, AC), dsb.

Namun, sifatnya yang ‘bayar di belakang, ketika uangnya sudah masuk’ ini akan bermasalah ketika datang masa di mana ‘uang tidak lagi mengalir’ masuk ke kantong kita.

Kapan itu? Ya sekarang ini. Ketika pandemi melanda seluruh dunia.

Barang dan uang mengalami perlambatan pergerakan. Imbasnya juga ke kita. Perusahaan dan dunia bisnis mulai tidak lancar menerima uang. Mulai ada PHK. Punya restoran atau usaha kecil atau mikro mulai mengalami penurunan pendapatan.

Akhirnya mulai sulit membayar cicilan, ‘kan.

Dari yang ingin bahagia dengan berbagai kepemilikan secara instan, berakhir dengan resah, gundah, galau karena macet dalam pembayaran.

Dari mana datangnya semua masalah ini?

Itu tadi. Ini diawali dari keinginan untuk memiliki berbagai barang pribadi secepat-cepatnya. Memanfaatkan apa yang disebut ‘hutang’.

Jadi instead of mengejar kebahagiaan, yang bisa kita lakukan sejak pandemi –dan mungkin seterusnya nanti– adalah berdamai dengan daya beli kita.

Alias, merasa cukup dengan yang ada.

Iya sih, ‘merasa cukup’ itu yang bagi beberapa orang, sulit untuk kita tahu. Karena ‘kan cukup yang pas itu beda-beda di tiap orang.

Kata saya, ini adalah dinamika perjalanan hidup juga ya. Bagaimana menyeimbangkan keinginan untuk bertumbuh (grow) di satu sisi kehidupan, dengan ‘merasa cukup’ di sisi yang lainnya.

Rasanya ‘kan grow juga ya. Kalau pindah dari kost ke kontrakan ke rumah sendiri. Atau dari angkoters – sepeda motor – mobil.

Hanya saja, ya itu, jangan terburu-buru dengan menggunakan hutang.

Kalau nasihatnya para financial planner adalah akumulasi cicilan utang jangan lebih dari kisaran 30%. Terhadap total pendapatan tetap ya. (Strateginya lain lagi kalau lebih banyak pendapatan tidak tetapnya. Ada di buku Freelancer 101).

Di sisi lain kehidupan pun, toh, kita pun bisa ‘merasa cukup’ dengan kontrakan. Sama-sama bernaung dari panas, hujan, dan dinginnya angin malam ‘kan.

Toh, angkot (atau public transport lainnya) juga membawa kita berpindah tempat dari satu titik ke titik yang lain. Apalagi sekarang ada ojek atau taksi daring ‘kan. Cukuplah ‘merasa cukup’ dengan itu semua.

Akhir kata, maksud dari judul kontroversial di atas adalah Jangan Mencari Bahagia dari dunia. Tapi, carilah kebahagiaan dari perasaan ‘merasa cukup’.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.