Kalau Kartini hidup hari ini, Apa yang akan dia lakukan?

Disclaimer: tulisan ini hanya kombinasi fakta dan imajinasi.

Saya berimajinasi andaikata Kartini hidup di era sekarang.

Mungkin dia adalah seorang blogger yang rutin menuangkan apa yang dipikirkannya ke dalam rangkaian kata. Tentu tidak hanya angan-angannya saja ya. Tetapi juga pengalaman-pengalaman hidupnya. Yang tujuannya bukan hanya mendokumentasikan, namun sekaligus berbagi dan menginspirasi.

Sudut pandang penulisannya lebih bersifat personal; bagaimana dia memandang sesuatu hal. Dia pemikir kritis yang punya pendapat pada hampir setiap hal. Bahkan, ke-agama-annya sendiri pun akan dia kritisi. Dia lahir sebagai seorang muslimah sejak lahir dari keturunan yang beragama Islam. Yang menarik, dia mempertanyakan kenapa dia harus tetap dalam agama tauhid tersebut. Untungnya, dia bertemu dan belajar dari sese-ustadz.

Kartini lahir dengan privileged. Tidak semua orang bisa seperti dia yang seorang bangsawan. Artinya sebagai keturunan ningrat, keluarganya diberkahi dengan bahan bacaan, isi pembicaraan maupun perilaku yang kental dengan intelektualitas. Di saat masih ada perempuan yang tidak punya makanan untuk disantap, Kartini sudah selesai dengan urusan-urusan mendasar seperti itu.

Dia menggemari pendidikan. Artinya, dia meyakini pendidikan adalah kunci penting untuk membuka akses ke tangga sosial dan ekonomi bagi para perempuan. Pendidikan sebagai jalan untuk ‘membebaskan’ perempuan untuk tidak hanya berkutat di domestik rumah tangga saja.

Kartini adalah aktifis pendidikan. Bangun sekolah, aktif mengikuti diskursus pendidikan (termasuk kurikulum yang sering berubah itu), sekaligus menjadi panelis di berbagai forum pendidikan.

Sebagai tokoh publik yang punya weblog pribadi, Kartini juga akan punya twitter dan instagram. Selain memperkuat amplifikasi tulisan-tulisannya lewat dua social media tersebut dan facebook, tentunya social media tersebut diberikan beban tambahan untuk turut membantu personal branding-nya sebagai seorang aktifis pendidikan.

Kita tidak bisa mengabaikan bahwa memang ada endorsement dan sponsorship dari asing, katakanlah saja Belanda, demi menarik simpati masyarakat di sini yang sedang berjuang meraih kemerdekaan. Tanpa menafikan fakta tersebut, kenyataannya tidak semua orang suka dengan Kartini dan apa yang dia perjuangkan. Meskipun, dalam kontrak pendanaannya tertuang kewajiban untuk nge-vlog di YouTube dengan judul “Tour Sekolah Bersponsor dan Berstandard Internasional”.

Ya, selain punya fans, Kartini juga punya haters. Para pembenci ini bahkan lebih updated daripada fans itu sendiri. Tentang Kartini ke mana, bicara tentang apa, dan seterusnya. Sebagai bahan serangan –bukan haters kalau tidak menyerang ya– adalah fakta bahwa Kartini terlibat dalam poligami.

Kartini bukan anak dari istri yang “diutamakan” oleh ayahnya yang seorang pejabat publik, correct me if I am wrong. Kartini sendiri merupakan istri ketiga dari seorang pejabat publik juga. Seiring dengan personanya sebagai aktifis pendidikan, dia adalah ‘pelaku’ poligami juga.

Kartini ‘dituduh’ bertindak lebih dari yang seharusnya. Dia adalah perempuan yang harusnya hilir mudik kasur dan dapur. Sebagaimana dia sebagai anak dan istri dari keluarga yang berpoligami. Kodrat ke-perempuan-annya sangat melekat di situ.

Meski berkali-kali dirundung di twitter hingga menjadi trending topic, Kartini tetap pada pendiriannya. Api semangatnya terus menyala. Dia tetap berjuang menyuarakan aspirasinya di berbagai kanal online maupun offline.

Di kemudian hari, sebuah penerbit kenamaan menghubunginya lewat pesan WhatsApp, “Bu, berkenan enggak, kalau tulisan-tulisan Ibu di kartini.com kita kompilasi dan terbitkan sebagai buku? Nanti judulnya ‘Habis Gelap, Terbitlah Terang”.


Referensi:

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.