Anak Ketiga

Kami baru saja melahirkan anak ketiga - di persalinan yang baru kedua kalinya ini.

Saya anak ketiga dari 4 bersaudara. Namanya juga sudah anak ke-sekian, jarak usia dengan orang tua saya tidak lagi di kisaran 20-an pertengahan tahun. Waktu saya dilahirkan, ayah saya berusia 31 tahun dan ibu saya 29 tahun.

Dalam membesarkan saya, tentu orang tua saya tidak belajar otodidak dari nol. Sudah ada dua kakak sebelum saya. Tapi bukan berarti tinggal mereplikasi apa-apa yang udah terbukti ‘it works’.

Ada bakat atau karakter bawaan orok dari saya yang tentu saja tidak sama dengan kakak-kakak saya. Dan itulah yang membuat parenting selalu menarik ya. Treatment yang sama belum tentu memberikan hasil yang sama pada anak berbeda.

Sekarang, saya juga sudah ada anak ketiga. Dari lahiran yang kedua kali.

Praktis, kami “baru” membesarkan seorang anak. Si nomor 1 dan 2 ‘kan kembar ya. Ibaratnya, sekali mengasuh, jadilah dua anak yang tumbuh besar. Baik fisik maupun mentalnya.

Baca juga: Mitos dan Fakta Anak Kembar.

Si baby newborn ini dengan kakaknya berjarak usia setidaknya 6 tahun. Dengan jarak sesignifikan itu, tentu kami pun berharap agar kakak-kakak ini dapat terberdayakan guna turut mengasuh si anak bungsu ini.

Saya sendiri berjarak 34 tahun dengan yang nomor tiga ini. Artinya, pada usia yang sama antara saya dengan dia, pasti ada perbedaan yang signifikan dan dia tidak mungkin memberikan tanggapan yang sama seperti saya.

Baca juga: Dunia Terasa Berbeda Setiap 30 Tahun Sekali.

Di satu sisi, beban sebagai orang tua terasa berat. Bagaimana kita menjelaskan dan menunjukkan dunia kepada mereka. Karena dunia itu selalu berubah. Dengan kata-kata semisal:

“Ini lho dunia. Dunia itu bekerja dengan mekanisme seperti ini lho. Untuk bisa survive bahkan menang, ini lho beberapa hal yang harus kamu lakukan. Bla bla bla.”

Jadi itu adalah keresahan (anxiety) seorang ayah seperti saya.

Dari awalnya sebagai anak yang kemudian menjadi orang dewasa, lalu menjadi orang tua, ada kalanya (tidak selalu) saya merasakan ketiadaan bimbingan dari ayah saya.

Saya pun mengkhawatirkan hal yang sama. Either tidak bisa membimbing (memberikan arah) kepada anak, ataupun tidak bisa menjadi rekan diskusi yang sepadan –karena gagap membaca perubahan dunia yang terjadi.

Sisi yang Menguntungkan

Di sisi lain, kita sebagai orang tua tidak bisa memilih ingin anak yang seperti apa. Instead of memilih, kita hanya bisa berdoa agar diberikan yang terbaik.

Untuk bayi yang baru lahir, sehat wal ‘afiat dengan organ-organ yang lengkap adalah suatu nikmat yang tak terukur — karena kita tidak bisa mengukur segala waktu dan usaha andaikata lahir tidak normal ‘kan.

Kita pun tidak bisa menjamin hidupnya 1000% persen. Sesederhana sudah ada Dzat Maha Kuasa yang mengatur berbagai rezekinya pasca lahir ke dunia. Orang tua hanya bisa mengusahakan dan mudah-mudahan dipertemukan dengan kesempatan tersebut. Supaya bisa menjadi jalan rezeki si anak.

Meskipun demikian, kami sebagai orang tua sudah memberikan suatu cap (english: brand), yaitu nama lengkap kepada si anak ketiga ini yang mudah-mudahan memberikan kebaikan baginya, bertahan hingga akhir hayatnya, serta tidak rumit dalam penulisan maupun pengucapannya: Akmal Insan Salim.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *