Remote Working from Coffee Shop

Rutinitas pekerjaan di kantor kadang membuat suntuk. Pekerjaan yang itu-itu saja menuntut kebaruan. Padahal target tidak pernah surut, deadline pantang mundur menghindari kita. Demi selesainya pekerjaan dan target, satu “pelarian” kita adalah coffee shop terdekat. Kafe Upnormal, misalnya. Singkat cerita, pergi kerja ke coffee shop adalah suatu bentuk menuntut kebaruan. Ini topik yang coba kita bahas kali ini ya.

Konon, menuntut kebaruan itu ternyata memang karakteristiknya si Homo Sapiens. Ya yang kayak kita-kita ini πŸ˜€ Basically, Homo Sapien itu senang banget beremigrasi. Merantau. Ada harapan bahwa akan menemukan yang lebih baik di tanah rantau. Misalnya jodoh yang lebih ganteng/cantik, atau kehidupan ekonomi yang lebih baik, atau belajar di kampus ternama demi harapan menemukan calon mertua yang luar biasa pula, atau lainnya. Meskipun di sisi lain merantau itu sebenarnya penuh dengan risiko. Kegagalan menumbuhkan ekonomi pribadi/keluarga. Ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) yang lebih berat dan di luar zona nyaman ketimbang di tempat-tempat sebelum beremigrasi.

Homo sapiens were the only group of early hominids to emigrate over the entire world, which entailed great risk, so I think humans as a species are characterized by novelty, and intensity-seeking,” explains psychologist, Marvin Zuckerman, Ph.D.

Jadi, memang manusia itu pada hakikatnya menuntut pembaharuan. Apa nih, kreasi terbaru dari desainer fesyen ternama yang menjadi idola aku? Ada inovasi apa nih dari produk Apple yang baru saja dirilis? Di kantor, ada gosip terbaru apa? Eh film yang heboh banget di Instagram itu, bener sebagus itu gak aslinya? Dan seterusnya.

Pembaharuan itu seperti kecanduan narkoba, nge-game, rokok, atau zat aditif lainnya. Sekali jejak kimiawinya sudah terjejak di otak, kita manusia berusaha meraihnya kembali. Lagi, dan lagi. Jejak kimiawi ini mendatangkan perasaan berbahagia, soalnya. Namanya dopamin.

Studi terbaru justru menyatakan bahwa dopamin adalah motivasi meraih reward-nya. Bukan reward (penghargaan) itu sendiri. Sejatinya, sesuatu yang membangkitkan dopamin dalam otak kita, hendaknya menggerakkan kita untuk mengejar suatu reward/acknowledgement/prize. Ini smeua part penting dalam gamification. Makanya, konsep gamifikasi sekarang ini diimplementasikan tidak cuma di industri game saja, tetapi juga di industri pendidikan misalnya. Kapan-kapan kita bahas ini ya.

Back to topic.

Dalam uraian di bawah, kerja remote dari coffee shop itu bukan karena kafenya cozy atau kopinya enak. Tapi memang karena intrinsic motivation (motivasi dari dalam diri kita).

Secara spesifik, kebaruan apa saja yang dituntut dalam rutinitas bekerja?

Lokasi yang berbeda, misalnya. Baik sekedar pindah meja untuk menghilangkan kebosanan. Pindah ke ruang rumput yang kekinian ala-ala di kantor para milennial, atau bekerja di ruang terbuka seperti di balkon maupun halaman belakang.

Atau bahkan pergi ke coffee shop demi secangkir cappucinno panas atau segelas cafe latte dingin berikut dengan Wi-Fi gratisnya. Lokasi yang baru, pada dasarnya mirip sebuah kanvas kosong untuk produktivitas kita. Lingkungan yang baru dan segar (fresh) sehingga memampukan kita untuk menyelesaikan segala tugas dan pekerjaan di hadapan.

Mekanismenya enggak rumit-rumit amat, kok. Kita menjadi lebih produktif (dan lebih efisien) di lokasi yang relatif baru, simply karena otak kita melihat tugas-pekerjaan di hadapan dengan “sumber cahaya” yang berbeda. Dengan berpindah-pindah lokasi bekerja, kita sebenarnya sedang mengaktivasi kemampuan otak kita untuk berpikir dengan sudut pandang yang baru (atau berbeda).

Beberapa paragraf terakhir di atas bukan menyarankan kita harus selalu berpindah tempat demi menemukan semangat atau gairah baru dalam bekerja. Yang tidak boleh kita lupakan adalah, otak kita bisa mengatur dan menyetel (eh, ini bahasa Indonesia yang benar, atau tidak? hahaha) produktifitas bergantung pada tanda-tanda spesifik atau spesial yang sudah kita rancang. Misalnya, bekerja dengan meja dan kursi yang aerodinamis sehingga kita merasa nyaman dan fokus. Foto keluarga yang memberi alasan mengapa kita beqerja qeras bagai quda (titik tekan pada setiap huruf Q, hehe). Atau hal sederhana semacam to do list untuk hari atau pekan tersebut.

Put simply, just move out when the crisis (or deadline) is facing you.

Lagian, ini semua bukan tentang kafe atau coffee shop, atau bahkan jenis kopi yang kita minum, kok. Bukan single origin darimana, espresso atau cold brew, banyak atau dikit milk and foam-nya. Semua ini soal intensi kita untuk menyelesaikan pekerjaan atau menaikkan kecepatan kerja kita yang tiba-tiba sedang slowing down itu. Yang ternyata semua penaikkan motivasi itu dimulai bahkan sejak kita berniat untuk pindah tempat.

https://blog.trello.com/coffee-shop-effect-boosts-productivity

2 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.