Waktu kecil di-langgan-kan majalah Bobo sama ortu. Di saat yang sama, juga langganan koran Suara Karya. Korannya sampai di rumah sore, tapi koran pagi. Jadi agak basi juga beritanya, hehe. Masa-masa non-digital dulu. Namanya anak kecil ketemu koran, ‘kan ya. Ya saling lihat doang. Kagak saling sapa sama sekali. Si anak kecil lebih berminat sama Bobo yang berkaos merah berinisial ‘b’, Bona, Rongrong dan Nirmala. Ada beberapa teaser atau spoiler juga untuk serial yang akan tayang di TV. Alhamdulillah, serial Ksatria Baja Hitam RX tersebut hanya tayang di RCTI. Daannnn, RCTI nya juga belum masuk di wilayah kami. Hahahahaha…. (ketawa miris).
Di rumah juga ada majalah hidayatullah. Entah dibeli, atau dapat gratis karena member. Majalah dari pesantren ternama dengan nama yang sama di Balikpapan. Ternama-nya pun saya baru tahu di kemudian hari. Bahwa pusatnya, pesantren terbesarnya itu ya di Balikpapan. Pas tinggal di Surabaya, baru tahu ada minimarket lokal dengan merek “Sakinah” yang ternyata termasuk grupnya Hidayatullah juga. Sakinah ini sebagian besar size-nya minimarket. Tapi ada juga yang berformat supermarket di dekat ITS (Institut Teknologi Sepuluh November, bukan Institut Teknologi Surabaya, ya).
Selama “penjara” SMA, konten yang diekspos ke kami sangat dibatasi. TV hanya ada di ruang baca kelas. Satu TV untuk seluruh angkatan. Dan hanya boleh ditonton setelah jam belajar malam. Wicis wicis, itu sudah jam 9 malam. Demikian pula dengan kording (koran dinding). Tiap hari diganti, tapi satu koran untuk satu angkatan. Hehehe. Alhamdulillah jadi fokus belajar (iya, gitu?).
Jadinya, urusan majalah-majalah ini pinjam-baca ke teman. Ada majalah M2 (Movie Monthly), Cinemagz, tapi paling sering ya Majalah Hai. Maklum kami-kami dulu kan remaja tanggung yang lagi cari panduan tampil Masteng (mas-mas sok ganteng) di depan Mbatik (mbak-mbak sok cantik). Dua majalah pertama yang disebut, ya cuxtaw ajalah, ya. ‘Kan nonton bioskopnya juga entah kapan (palingan pas libur semester). Harap maklum, di kota tersebut belum ada mall. Urusan novel, yang paling diingat adalah Eiffel, I’m in Love dulu yang kami sempat baca bergiliran. Sampai ada yang fotokopi segala (padahal ‘kan gak boleh, ya?).
Pas pindah sekolah ke Bandung, interest-nya mulai bergeser. Awal-awal sukanya baca Majalah MIX. Yang satu grup sama Majalah SWA (dulu namanya SWASEMBADA). MIX ini fokusnya di komunikasi pemasaran. Pemasaran, tapi terbatas di komunikasinya saja. Bukan meliputi urusan distribusi dan channel penjualan gitu. Kalau lagi bosan sama MIX, pindah ke lain hati eh majalah bentar deh: SWA. Si ortu-nya MIX ini bahasannya lebih beragam. Tidak hanya pemasaran. Tetapi juga finance, supply chain, dan lain sebagainya.
Namun, saya kemudian menyadari bahwa bagaimanapun juga, MIX dan SWA adalah majalah. Selalu mengkaver soal berita yang kemudian dikemas dalam wujud cerita. Kalau cari ilmu, bukan di majalah tempatnya. Bukan tidak bisa sama sekali, tetapi harus baca puluhan edisi dulu baru (kira-kira) understanding (pemahaman) dan framework-nya akan terbentuk. Sejak itu, saya mulai stop membaca majalah dan mulai membaca buku.
Yang saya ingat, buku-buku pertama yang saya baca adalah: Toyota Way, Change-nya RK (Rhenald Kasali, bukan Ridwan Kamil). Shorten long story, ternyata buku adalah pergulatan ilmu dalam horizon yang lebih panjang daripada publikasi, majalah, apalagi artikel. Kalau sebuah fenomena dalam rentang sebulan bisa di-frame dalam sebuah artikel, maka buku adalah versi 5-10 tahunnya. Sehingga dalam satu dekade berikutnya, bisa jadi sebuah buku malah usang karena teori-teorinya tergantikan oleh teori/hipotesis baru (yang juga diturunkan dari fenomena-fenomena yang lebih baru).
Artikel-artikel di majalah Harvard Business Review (HBR) oke punya. Relatif lebih long-lasting karena analisis yang mendalam membuat artikel tersebut punya positioning (posisi) yang lebih stabil terhadap satu-sama-lain. Buktinya, masih sering disitasi (eh, benar ini bukan Bahasa Indonesianya, ya?) dan jadi rujukan di sekolah-sekolah bisnis di dunia.
Terus, masih baca majalah, enggak?
Sudah tidak lagi. Perubahan zaman, terutama internet dan digitalisasi, menggilas industri media yang menerbitkan majalah. Sudah bertahun-tahun yang lalu, iklan di majalah tidak lagi jadi sumber pendapatan. Media kini lebih mengandalkan dari pelaksanaan training (jatuhnya memang mirip event organizer, sih), event lain, atau sumber lain seperti pengelolaan media internal suatu perusahaan.
Aktivitas membaca majalah yang saya lakukan dahulu sewaktu kecil sampai kuliah kini bergeser menjadi membaca artikel-artikel di website kenamaan. Bukan website media/berita, tetapi versi blog dari suatu website. Pola belanjanya juga bukan lagi belanja per eksmplar majalah/koran. Melainkan jadi berlangganan per waktu tertentu. Yang biasa ditawarkan adalah bulanan, tetapi ada diskon tambahan kalau langsung satu tahun.
Direview dong e magz yang recomended..untuk anak-anak, atau yang untuk emak-emak. Sekarang nyari majalah fisik juga tidak mudah. apalagi saya di kota pinggiran.