Freelance: Menyikapi Kepergian Klien

Tulisan ini seharusnya dirilis dan di-congkak-kan (baca: dipamerkan) pekan lalu. Di saat komunitas 1M1C sedang sibuk dengan minggu tema “kehilangan”. Ada yang menuliskan momen-momen kehilangan masa santay-nya karena datang masa sibuk-nya yang warbiyasak pasca melahirkan. Alhamdulillah ya, dapat amanah baru lagi as ortu dari seorang bayi. Yah, I feel that kok, Sist. Bukannya gak punya empati atas sebuah rasa kehilangan. Been there done that. Cuma gak pengen mellow marshmellow di blog aja. Biar sendu-sendunya disimpan sendiri aja en dibuang di pojok kamar. Ceilah.

Cukup introduksi ala-alanya. Jadi kembali ke laptop. Gimana rasanya?

Actually, biasa aja sih. Gak usah melibatkan perasaan. Nanti jadi ba-per. Namanya klien stop ngasi kerjaan ke kita kan bukan sesuatu yang gimana tho. Cuma aliran uang yang berhenti aja. Mirip-mirip kayak lagi mati air gitu lha. Stop mengucurnya. Tapi ini bukan akhir dunia. Toh matahari masih terbit dari timur. Mungkin kita ketahui alasannya ya. Mungkin juga tidak. Tapi bisa jadi dia memang sudah tidak butuh deliverables dari kita. Semisal foto, tulisan, image as deliverables kita yang nge-freelance as photographer, writer, and visual designer. Or other deliverables.

Mungkin juga hasil kolaborasi en coba-coba (baca: eksperimen) dia bareng kita udah mulai menampakkan hasil. Atau minimal wawasan (insight) mulai kelihatan lha. Bahwa deliverables kita kurang cocok (belum tentu kurang bagus ya) sama tipe bisnisnya dia. Kalau soal selera, kudunya udah cocok dari awal lha. Kan dia udah ngelihat portfolio kita. Jadi think positive aja. Not that worst, pokoknya.

Bisa jadi juga dia udah chemistry banget sama karya kita. Tapi sayang, satu dan lain hal, dia juga mengecil aliran “keran”nya. Omzetnya mengecil lha, atau ada piutang tak tertagih lha. Atau lainnya. Efeknya kudu stop sama kita. Dia sih pengen lanjut sama kita. Tapi apa iya kita mau pro bono gitu sambil banting tulang memeras darah? Ya enggak kan.

OK, pesannya udah ditangkap ya? Intinya jangan ba-per. Kalau segitunya dibawa ke hati, terus gak bisa move on ‘kan repot ujung-ujungya. Padahal klien ya kudu diburu terus. Hahaha. Gak ding. Yang bener memburu pekerjaan, kalau sudah dapat ya dikerjakan sebaik-baiknya. Habis itu baru penagihan sampai pelunasan. Wkwkwk.

Lagian, kalo personal brand kita udah kuat, calon klien datang sendiri, kok. Memang, kerjaan freelance itu lebih mirip B2B daripada B2C. Alias klien yang datang sebenarnya sedikit. Tapi kalau berhasil maintain, ya bisa awet juga. Gak harus berburu kecil-kecilan terus. Kayak ular viper warna ijo aja yang makan katak hijau di pohon. Sekali telan bisa berhari-hari gak cari makan lagi. Eh analoginya masuk gak ya? Hahaha. Intinya dapat kan?

However, seperti seseorang (teman, keluarga) atau sebuah barang (kunci kendaraan, kunci rumah), ada kalanya klien dan transfer-annya baru terasa ketika “hilang”. Padahal pas kerjaannya ada, susah dan dikejar deadline kita lupa bersyukur masih punya gawe-an. Di luar sana banyak lho yang cari gawe-an tapi gak nemu-nemu.

In terms of financial management, di situlah gunanya menabung. Alias tatkala sedang sepi pekerjaan, masih ada yang bisa diicip-icip sebelum brace yourself, new project is coming.

Kalau saya, berhubung hobi dagang barang juga, jadinya masih bisa jajan dari situ. Nah ini jadi “bemper” juga pas proyek lagi sepi. Intinya jangan menaruh telur di satu keranjang lha. Kalau perlu simpanlah beberapa jenis protein di beberapa kulkas. Eh, kejauhan ya? Haha. Pokoknya, creme de la creme nya gitu deh. Udah ngerti kaannnn……… namanya manajemen risiko (risk management).

Analisis aja, mana aliran omzet yang bisa rutin ngasi pemasukan (meskipun kecil nilainya). Mana pula yang nilainya besar (meski hanya sesekali). Pengennya sih semuanya dapat ya? Hahaha, tapi habis itu menyesal karena enggak ada waktu ngerjain. ((((ketawa miris))))

Kuncinya, treatment aja ini-itu kerjaan freelance as BAU (business as usual). As I ever wrote before somewhere in this blog. Bahwa sambil ada yang dikerjain, tetap aja fungsi penagihan harus berjalan terus. Demikian pula dengan fungsi jalan-jalan bertemu dengan orang baru. Ya mosok satu dari lima puluh orang kenalan baru enggak ada yang nyangkut ye kan….. hehehe

Konklusinya adalah, urusan duit jangan dibawa ke hati. Sebagaimana sebuah hadits yang sampai kepada saya, supaya dunia itu di tangan dan pikiran aja tapi tidak di hati. Tatkala klien memutuskan stop berlangganan jasa kita, kitanya gak baper parah dan aliran fulus juga enggak mampet-mampet banget.

Lagian, kalau indikatornya cuma si lembar yang bikin mata jadi ijo, kurang tepat juga. Makin banyak indikator sebenarnya makin baik. Tambahkan target dan ukuran semisal: jumlah orang baru yang ditemui, keahlian baru yang didapat dan kemudian bisa ditawarkan, dst. Segini aja dulu ya. Semoga bermanfaat.

Related post(s):

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.