Menyerahkan sebagian pendidikan anak kepada lembaga pendidikan, tidak serta merta membuat tanggung jawab orang tua menjadi hilang sama sekali. Dua setengah tahun lebih menyekolahkan anak di pendidikan dasar, menyadarkan saya bahwa ada beberapa tugas ortusis di rumah guna mendukung dan menyempurnakan pendidikan anak di sekolah.
Daftar Isi
Bantu Anak Trust kepada Gurunya
Jika anak tidak percaya kepada gurunya, maka anak akan cenderung untuk share masalahnya di rumah. Di mana, itu sudah ruang dan waktu yang berbeda. Dan penanganannya tidak mudah atau tidak secepat jika siswa tersebut masih di ruang dan waktu bersekolah. Saya meyakini bahwa ortu sudah mengingatkan kepada anak-anak bahwa para guru adalah para pengganti ortu selama di sekolah.
Berdasar pengalaman pribadi, saya menyarankan agar para ortu bisa mengajak anak untuk mempercayai gurunya sendiri. Saya ingat bahwa elemen Trust (T) di antaranya adalah Intimacy (I), jadi memang harus dibangun keakraban antara siswa dengan gurunya. Kalau siswa belum akrab kepada guru, sementara siswa harus mencoba untuk bisa curhat kepada guru, maka guru bisa membuka kesempatan untuk menerima curhatan tersebut dalam bentuk tulisan – boleh dibuat anonim, tetapi dikonfirmasi secara lisan kepada wali kelas.
Pantau Pekerjaan Rumah (PR)
In a way, PR bisa sangat membebani jika diberikan secara berlebihan kepada murid. Namun, tanpa PR sama sekali malah membuat ortusis kepo dengan apa yang sedang dipelajari anak di sekolah.
Solusinya bisa dengan bapak-ibu guru menginformasikan sejak awal kepada ortusis mengenai ruang lingkup yang dipelajari oleh siswa di semester yang sedang berjalan tersebut. Tentunya dengan bahan-bahan ajar yang juga bisa diakses oleh para ortusis.
Jika tiada bahan ajar seperti buku paket, buku soal, e-book/PDF yang bisa diakses ortusis, setidaknya ortusis memegang kata kunci – kata kunci untuk melakukan pencarian di google atau di youtube untuk mencari konten pembelajaran.
Sediakan Bahan Belajar
Ada SDIT yang menyuratkan bahwa siswa bebas belajar dari sumber mana saja, termasuk YouTube. Namun saya melihatnya dari sisi yang berseberangan. Tanpa prioritas pada referensi apapun, pernyataan SDIT tersebut, bila dilontarkan oleh kepala sekolah atau kepala Yayasan, malah terkesan blunder pada pembelajaran itu sendiri. Tanpa sumber yang direkomendasikan, yang terjadi kemudian adalah tidak referensi yang diproritas untuk dibaca atau dipelajari.
Hal ini kemudian mengarahkan saya untuk secara mandiri membeli dan memiliki buku soal dan mengajak anak untuk mengerjakannya. Saya kira kami bisa mencoba dulu, mudah-mudahan nanti ada waktu untuk memeriksanya secara bersama-sama.
Ortu Ikut Menghafal Al Quran
Baiknya ortusis juga antusias dengan pelajaran dan perkembangan anak di bidang ini. Di antaranya dengan mengulangi hafalan (muaraja’ah) setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, serta membantu pelafalannya dengan membaca surat tersebut langsung dengan membuka al qur’an. Sehingga si anak merasakan betul kapan dan di mana bacaan panjang harus dilantunkan – bukan ‘menghajar’ semuanya tanpa memperhatikan di mana huruf yang harus dibaca panjang. Seiring dengan itu, naik-turunnya nada tilawah bisa diperbaiki agar semakin indah didengar oleh mereka yang menyimak. Please remember that menyimak tilawah/muroja’ah juga berpahala.
Tbh, saya sendiri belajar dari anak-anak untuk menambah hafalan surat-surat Al-Qur’an.
Rupanya ada SD yang sepanjang 6 tahun Pendidikan mentarget 2 juz (Juz 29-30) tetapi ada juga yang Juz 30 saja. Ini ada yang startnya dari An Nas, ada yang dari An Naba’. Yang manapun, tetap baik. Yang tidak baik adalah yang tidak mempelajari kitab suci Al-Quran. Bahkan di SMPIT, hafalannya dilanjutkan ke Juz berikutnya – kemungkinan besar Juz 28 ya.
FYI, SDIT secara umum ya sama saja. Yang satu di bawah naungan kementerian Pendidikan, yang satunya kementerian agama. Untuk urusan kurikulum, akan mengikuti kemendikdasmen, di mana saat ini masih kurikulum merdeka.
Menyadari berbagai keterbatasan sekolah yang perlu di-backup oleh ortusis, membuat saya semakin yakin bahwa tonggak pendidikan memang terdiri dari tiga pihak: siswa sebagai subjek-objek pendidikan, dan ortusis beserta guru di pihak-pihak yang lain. Ibarat segitiga sama kaki, siswa berada di puncak yang ditopang oleh ‘kaki-kaki’ guru dan ortusis.