Namanya rumah ya lebih untuk tempat tinggal ‘kan. Kantor tempat bekerja. Fasilitasnya jelas beda. Kantor didesain dan direkayasa supaya “penghuni”-nya lebih produktif. Terutama lewat fasilitas kantor yang menunjang: meja dan kursi kerja, hingga cemilan supaya gak boring. Bila di rumah, terpaksa bekerja dengan fasilitas seadanya. Setidaknya di awal-awal WFH.
Bagi kebanyakan karyawan, bekerja jarak jauh (remote) itu terasa sendirian (feeling lonely). Rasanya seperti bekerja tanpa pengawasan oleh supervisor (atau team leader). Di sisi lain, tidak bisa komunikasi lisan secara langsung dengan rekan kerja. Jadi rasanya seperti bekerja seorang diri. Ini bisa berimbas pada turunnya produktifitas. Baik individu, tim, maupun perusahaan. Yang sangat mungkin terjadi pada perusahaan yang belum pernah membuka diri pada opsi flexible working.
Tantangan utama WFH adalah bagaimana mempertahankan produktifitas tetap tinggi sebagaimana di kantor. Cara pertama dengan mempersiapkan diri dan perlengkapan sejak pagi hari. Misalnya dengan mandi pagi supaya segar, makan pagi supaya gak kelaparan ketika pekerjaan dimulai, maupun hal-hal remeh semisal menyapa rekan-rekan dengan ucapan selamat pagi atau selamat bekerja.
Dari saya pribadi, biasanya mempersiapkan pekerjaan, minimal dari disiplin menuliskan rencana kerja di pagi hari, dan menuliskan perkembangan (progress) maupun hasil kerja di sore harinya di jurnal pribadi saya yang khusus untuk pekerjaan.
Ketika WFH, saya amati ada dua hal yang sering terjadi. Ini bisa dijadikan tolok ukur apakah WFH benar-benar sudah terinternalisasi atau belum. Hehehe.
Pertama, lupa hari kerja. Rekan saya baru menyadari hari tersebut adalah tanggal merah setelah bekerja selama 4 jam. Cerita dari senior dosen: bikin event online, yang ternyata jatuh di tanggal merah.
Kedua, tidak mengetahui progress pekerjaan tim maupun perusahaan. Di sinilah pentingnya berbagi info mengenai apa yang sudah dan akan dikerjakan. Dalam bentuk standup meeting, aplikasi kolaborasi pekerjaan (salah satunya Trello), atau medium lainnya.
Meskipun opsi bekerja di kantor boleh diambil, namun kami sekeluarga memutuskan supaya saya tetap bekerja dari rumah. Ini adalah privilege yang kami tidak boleh lupa untuk syukuri. Sebab tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah.
Pada akhirnya, kami kembali pada kesimpulan bahwa tiap-tiap pekerjaan memiliki challenge-nya masing-masing. Yang harus turun ke lapangan, semisal para penjaja (salesman), tantangannya adalah soal disiplin memakai masker dan menjaga jarak. Sementara yang sudah WFH selama 6 bulan, tantangannya adalah bagaimana menyikapi ketidaksabaran diri sendiri.
Mudah-mudahan di Desember nanti ada kabar baik ya, mengenai vaksin untuk covid-19. Masih 4 bulan lagi. Aamiin.
Baca juga ya:
[…] tapi waktunya sudah habis“. Saya kan langganan internet untuk di rumah ya. karena kan selalu WFH. Jadi kalau ke luar rumah mesti beli paket harian yang baru. Paket harian ini yang besoknya gak […]
kalau saya boleh menambahkan efek WFH adalah kuota jadi cepat habis. apalagi kalau mengharskan untuk komunikasi via google meet/zoom/video call. selain itu menimbulkan efek kejenuhan, dan bergantng pada gadget.
daripada itu, kita patut bersyukur bisa sehat sampai detik ini. sedikit ngeluh banyak bersyukur agar imunitas baik, sehingga virus penyakit pun pergi. ^^