Sebenarnya, saya sudah punya feeling sejak bertamu ke warung ramen cabang kedua. Tetapi, saya terlalu positive thinking untuk mempertanyakan kenapa bisa secepat itu membuka cabang kedua. Seharusnya saya bisa lebih kritis dalam mencari tahu duitnya dipakai untuk belanja apa dan berapa sebenarnya hasil dari semua perputaran tersebut.
Berikut adalah beberapa pelajaran keuangan, khususnya mata pelajaran investasi yang bisa dipetik:
Apa itu skema Ponzi, siapa itu Charles Ponzi, dan skema apa yang dilakukannya. Referensi tentang Ponzi sudah terlampau banyak sehingga teman-teman bisa membacanya sendiri.
Sekedar contoh, ini juga termasuk skema Ponzi:
Hal ini berangkat dari Jiwasraya yang menjanjikan fixed return kepada nasabah dengan rate sampai dengan 14 persen dan memberikan garansi jangka panjang untuk nasabahnya yang membeli produk JS Saving Plan. Menurut Hexana, skema ini membuat perusahaan harus menggunakan setoran premi dari anggota untuk membayarkan klaim yang jatuh tempo setiap hari.
https://www.republika.co.id/berita/qrs83n318/generasi-instan-dan-fenomena-ponzinomics-di-indonesia
Seperti saya sudah bilang di atas, referensinya sudah banyak banget. Baik tentang Ponzi maupun skema-skema penipuan lainnya. Namun, yang gak bisa dipelajari tetapi harus dipraktikkan adalah belajar sabar.
Ini tantangan berat sebenarnya ya. Mengingat internet dan generasi milennial sudah pula lahir bersama, tumbuh-besarnya juga bersama-sama. Dan salah satu ciri khasnya adalah suka yang instant-instant. Alias, tidak mau bersabar.
Padahal, kunci dari investasi adalah sabar. Sebagaimana Warren Buffet bilang, bunga yang berbunga-bunga (compound interest) adalah teman baiknya investor. Tetapi, investor butuh waktu. Alias investor harus belajar sabar.
Sabar itu bukan hanya sabar menunggu dan menjalani waktunya ya. Tetapi yang termasuk dalam sabar adalah dalam mengelola harapan (set the expectation).
Bahasa keuangannya adalah “kenali instrumen investasi yang anda pilih“. Maksudnya adalah ketahui segala keuntungan, stabilitas, dan risiko dari produk investasi tersebut.
Dari sisi pemberi dana, kita bisa membagi dua ya. Ada kreditur (pemberi hutang) dan ada investor. Pemberi hutang, seperti bank, biasanya meminta pengembalian yang pasti jumlah dan pasti (terjadwal) waktunya.
Sementara itu, apa yang seharusnya diterima oleh investor? Yaitu kenaikan harga saham (ketika dijual kembali) dan dividen (sisa hasil usaha setelah dikurangi dengan laba ditahan).
Itulah mengapa saya berikan tanda kutip pada salah satu kata “investor” di atas. Karena menyebut dirinya investor, tetapi menghendaki hasil yang tetap dan diterima sesuai jadwal.
Lama sudah sejak peristiwa yang saya ceritakan di atas, yang terjadi saat ini adalah:
Demikian cerita saya kali ini, semoga ada hikmah yang bisa diambil ya.
Oiya, di bawah ini ada beberapa insight soal financial planning. Mudahan-mudahan bisa bermanfaat juga.
[…] kita yang relatif financial illiterate alias belum melek keuangan. No wonder banyak terjadi kasus penipuan investasi kan […]
Untuk beberapa karakter orang, terutama keras kepala, belajar memang mahal harganya. Bisa habis waktu, uang, tenaga, atau ketiganya. Syukurlah menyadari di masa muda ya Pak. Hehehe..
Rumah tangga juga begitu, rugi sama-sama, untung juga sama-sama.
Susah emang bang kalo udah teriming2 return besar. Dan poin kenali instrumen investasi emang bener banget. Sebelum berinvestasi swbaiknya kenali diri dulu, profil resikonya gimana terus pilih investasi.
Ya itu dia. Kita harus kenal kita invest di industri apa. Misal bikin restoran atau usaha kuliner jenis lain. Itu harga jual kan setidaknya sudah 2x lipat dari harga pokok produksi (HPP). Contoh lain, proyek konsultasi yang marginnya bisa puluhan persen dari nilai jual-nya. Dari dua contoh ini saja, kita bisa belajar bahwa margin tiap bisnis itu berbeda-beda, maka laba ditahan juga berbeda, apalagi dividen yg bisa diterima oleh investor akan berbeda-beda lagi. Makin kecil marjin laba, makin kecil pula keuntungan yang bisa dibagikan.
Dalam kasus yang saya ceritakan, bagi hasil 10% itu bisa diraih pada marjin laba berapa persen? Kalau memang marjin labanya cukup besar, katakanlah 30%-50%, lalu kenapa kita harus tarik investasi dari luar untuk memperbesar perputaran? Mengapa tidak ambil dari laba ditahan saja supaya mengurangi risiko dengan investor? Kekritisan semacam ini yang harus kita hadirkan bila kita menjadi investor.