Di perusahaan-perusahaan IT (information technology), baik berupa perusahaan system integrator yang mainnya proyek-proyek temporer IT maupun perusahaan rintisan (start-up) yang fokus ke produk-produk IT (name it Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dlsb) saya mengamati sesungguhnya teman-teman developer (pengembang) berjuang mati-matian untuk beradaptasi dengan teknologi.
Artinya, dua-tiga tahun saja tidak menyentuh teknologi-teknologi tersebut, maka akan sulit untuk catch-up. Why? Simply karena versioning-nya berkembang terus. Sederhananya, dari 1.0 bergerak terus menuju 2.0, 3.0 hingga 4.0. Itu baru satu versioning.
Belum termasuk lahirnya bahasa-bahasa pemrograman yang baru. Yang terbaru saya dengar Go Languange (Bahasa Go) alias Go-Lang yang notabene dibesut oleh Go(ogle). Itu satu jenis bahasa Back-End ya. Belum bahasa Front-End engineering (untuk transisi, animasi, static content, dll), maupun teknologi-teknologi DevOps.
Framework (kategori yang relatif lebih easy-peasy lemon-squeezy daripada bahasa karena lebih siap pakai) juga demikian. Ada framework ini dan itu yang berkembang sedemikian rupa. CMS (Content Management System) juga begitu. CMS ini lebih siap pakai lagi. Namun, perkembangan manajemen konten menuntut penggunaan CMS yang part-partnya bisa dikoding di sana dan di sini. Demi statistik-nya lha, untuk diimplementasi search engine lha, and so on, and so on.
Intinya, semua tidak jauh beda dengan programming language yang terus-menerus berkembang namun tidak mau berhenti barang sejenak.
Intinya, bagi developer (dan system engineer) teknologi berkembang sedemikian cepat hingga untuk bisa mengejarnya harus memilih mau fokus di mana. Tidak heran, kebanyakan programmer yang sudah senior, mulai stop being programmer. Instead of mengikuti perkembangan teknologi yang begitu cepat, mereka memilih menjadi business/system analyst (pembuat requirement) atau project manager (PM; manusia yes-man yang running implementasi proyek di situs klien).
Tidak semua programmer seperti itu dan hal tersebut tidak terjadi di semua perusahaan. Masih ada perusahaan-perusahaan yang menyediakan karir bagi karyawannya untuk berfokus di (technical) design and development dengan menjadi solution architect.
Sementara, para penulis (writer) kita cenderung bisa mengikuti teknologi yang ada. Mulai dari aplikasi Microsoft Word, CMS (yang populer ada Blogspot dan WordPress —Sitefinity lebih susah sedikit) lalu Google Docs (yang menuntut kita bisa kerja bareng dengan penulis lain di laman yang sama; karena mekanisme automated saving-nya; thanks to internet).
Btw, kelebihan WordPress adalah punya banyak plugin yang dengan mudah kita bisa bongkar pasang, lho. Berikut beberapa Plugin WordPress yang saya rekomendasikan.
Bagi yang lebih teknikal sedikit, berurusan dengan ClickHelp atau Flare (dari MadCap) atau sejenisnya dalam rangka mengembangkan online documentation atau sejenis-jenis User Manual. Level kesulitan kategori ini hanya satu level di atas CMS-CMS blog, ceuk saya mah ya. Haha.
Because being writer is more like artist rather than scientist or engineers.
Ikhwan Alim, 2019.
Kita penulis mah lebih dekat dengan urusan selera daripada printilan-printilan logika yang sekuensial ala-ala developer.
Ada kalanya kita penulis berpikir beda (dan cenderung kreatif) terhadap suatu produk tulisan. Sementara kreativitas engineer diuji dengan desain dan implementasi suatu algoritma yang cocok untuk fungsi yang dikehendaki oleh requirement-nya client.
Kalau penulis harus berpikir urut semata karena plot yang disajikan kepada pemirsa. Sementara di sisi lain, kedua jenis makhluk (scientist dan engineer) harus berpikir runtut sedemikian rupa; tidak heran karena mereka menulis kode yang wajib bisa dibaca oleh mesin (dan oleh manusia juga).
Siklus seorang penulis, bisa jadi akan lebih panjang daripada developer ya. Simply karena di atas 35, 40, atau bahkan 50 tahun, kurasa para penulis masih bisa mengikuti tren-tren teknologi kekinian.
At the end, the conclusion is… technology is quite easy for writer to adapt.
Tapi Tuhan itu adil, kok.
Job market for developer is much bigger (and grow faster) than writer 🙂
Simpulan saya, “jatah”-nya penulis adalah berpindah dari satu medium ke medium lain. Dari blog (yang notabene artikel) menjadi buku. Lalu beralih ke caption Instagram (berhubung skill desain/ilustrasi yang ala kadar, jadinya pakai Canva, deh), kalo wajahnya tjakep dikit boleh lha beralih ke Vlogger (YouTuber). Kalo pede suara gak cempreng, main Podcast.
That’s all. Kalau ada insight menarik dari kamu, silakan komen di bawah ya! Cheers 😀
[…] dan WordPress sama-sama dilahirkan dari rahim Automattic. Bisa dibilang, Jetpack adalah plugin super dan serba […]
[…] tanpa cacat (seamless). Mungkin karena saya sedikit teknikal tapi mengerti bahasa. Atau banyak paham tentang bahasa (dan penulisan), tapi bisa nyambung kalau bicara […]
Aku nulis ajalah di blog. Infografis masih terbata-bata. Malah duluan nulis buku drpd ngeblog. Kzl nungguin engga terbit², pdhal naskah udh OK. Vlogger engga ah. Kayaknya itu jatah generasi Z ke bawah. IG ku kebanyakan foto gedung². Hehe…
Akhirnya tersangkut di blog..soalnya mau jadi vlogger dah keder kalah saing dengan yang syantiik ,rumahnya satu M dengan kamar mandi marmer seluas tiga meter, plus hobi jalan jalan keluarnegeri.. eh
Nay..i just love writing more than anything ☺
Menurut aku teknologi jelas sangat membantu buat menulis (meski aku juga gak canggih2 amat ?). Masih pake yg standar macam word. Klo nandon tulisan yg cepet pake notes di hape. Bikin caption bagus di IG pake pretty caption. Fotonya diedit dg bantuan aplikasi2 yg lutju2. Belum ke youtube sih karna gak bakat kyknya edit vidio ??
Hahahhaa “wajahnya tjakep dikit boleh lha beralih ke Vlogger” ???
Salah satu koentji kesuksesan youtuber adalah hobi pamer wkkwwkk… Trendingnya pamer ini itu lah, ngasih mobil ortu 3.5M lah, liat rumah siapa lah… Tentu saja tak kubuka karena takut jadi iri hati. Wkwkkw…
Di IG pun jd unfollow yg terlalu banyak endorseannya, wkwkwkwk…
Tp netijen tidak seperti aku, jd pekerjaan influencer aman ??
pamer adalah koentji