Tanpa perlu saya beberkan fakta-faktanya, nyatanya negara kita Indonesia sedang menuju puncak pandemi Covid-19. Dalam pada itu, beberapa langkah (dan kampanye) pencegahan dilakukan. Di antaranya ada kampanye #dirumah aja. Lalu ada himbauan dari pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk melaksanakan social distancing (menjaga jarak dengan orang lain) serta Work From Home (WFH).
Sebenarnya setelah tahun 1998, profesi pengusaha sangat mendominasi. Dalam ukuran jumlah penduduk, besarannya kira-kira 60%-65%. Ini melingkupi semua skala usaha ya. Termasuk pedagang kaki lima (yang produksi dan berjualan seorang diri), sampai dengan freelancer seperti kamu. Iya, kamu.
Persoalan pertama dengan WFH adalah (tentu saja) tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan di rumah. Ada aktifitas bisnis yang terkait dengan marketing and sales semisal menemui klien untuk presentasi (karena kirim company profile atau portfolio saja lewat email masih kurang), mengirimkan produk yang sudah dipesan, melakukan penagihan, dan lain sebagainya. Dan karena dominasi profesi pengusaha di negara kita, tentu saja aktifitas terkait dengan klien tidak bisa di-WFH-kan begitu saja.
Kedua, tidak semua orang atau rumah memiliki akses internet yang memadai untuk bekerja. Yang minimal sama baiknya dengan yang ada di kantor. Bukan hanya dari sisi kualitas dan kecepatan jaringan juga. Tetapi sampai ke kuota yang diberikan. Penulis tidak perlu banyak kuota. Saya sendiri kira-kira maksimal 1GB per hari. Tapi UI Designer mengirim sebuah image saja bisa 200 MB sendiri. Rekan BE developer pernah ada yang tethering sampai belasan GB hanya dalam sehari.
Ketiga, kita belum siap WFH ketika kita (baik pribadi maupun perusahaan) belum membiasakan WFH itu sendiri. Karena WFH sebenarnya bukan sekedar memindahkan kegiatan di kantor ke rumah. Namun, bagaimana membudayakan fleksibilitas (sebagai prinsip dasar WFH) itu sendiri berikut dengan turunan-turunannya.
Salah satu di antaranya yaitu focus to deliverable, instead of process. Iya, proses kerja penting. Tapi trust (rasa percaya) sudah harus ada dari perusahaan (yang diwakili oleh atasan langsung) lebih dulu. Sehingga bisa memprioritaskan deliverable dulu baru ke proses-nya. Omong-omong soal trust, masih banyak atasan, terutama di generasi X –yang sudah sangat senior dan berpengalaman di kantor—yang hanya percaya bahwa subordinatnya bekerja jika diawasi secara langsung oleh kedua matanya.
Sebagaimana semua pekerjaan dan lokasi kerja ada risikonya, maka risiko-risiko WFH harus diketahui, dipahami, kemudian dimitigasi. Risiko paling dasar dari WFH, menurut saya adalah produktifitasnya tidak persis sama. Sebab di rumah, ada distraksi yang tidak bisa diabaikan. Di artikel tirto ini, dibahas tentang hujan dan banjir yang sempat menunda pekerjaan. Masih di artikel yang sama, ketidakpahaman orang tua terhadap jenis-jenis pekerjaan zaman now turut meminta pemakluman kita sebagai pelaku WFH.
Contoh lain dari bukan sekedar memindahkan pekerjaan di kantor ke rumah (yang notabene luar kantor) adalah terkait jenis aplikasi yang digunakan. Kalau bekerja di kantor dengan internet, Ms PowerPoint dan Gmail sudah cukup, maka bekerja di luar kantor (salah satunya dari rumah) sudah sepatutnya menggunakan aplikasi yang concurrent collaboration yaitu Google Slides. Jadi, suatu deliverable tidak dikerjakan, diedit, dan dikirim berkali-kali. Tapi cukup “dikeroyok online” dalam suatu file.
Perihal aplikasi digital yang bisa memfasilitasi belajar dari rumah (yang dialami oleh guru berikut para siswanya) untuk kelas online. Berikut ini saya kutip pendapat seorang senior,
Kelihatannya kelas online tersebut kagetan. Staff sekolah nggak pernah diajari tentang itu. Seperti di sini, sekolahnya via whatsapp group dan heboh. Pengajar share materi via Google Drive langsung ke file pptx tapi gak bisa dibuka, gak ada suaranya, harus pakai ms powerpoint tapi ada yg gak punya softwarenya.
Mereka belum tahu ada aplikasi online learning untuk itu seperti moodle dan edmodo. Mereka adalah aplikasi platform, seperti tokopedia. Jadi orang tinggal buka lapaknya aja, input barang dll.
Edmodo juga, teacher tinggal buat akun, create class, invite emailnya students, upload file materi, upload quiz, buat pengumuman, etc
Okay, mari kita tuntaskan pembahasan ini dengan aplikasi-aplikasi apa saja yang bisa menunjang WFH: Google Drive (berikut turunannya seperti Google Docs, Google Sheet, dsb), Trello (untuk manajemen proyek bersama dengan anggota tim yang lain), Google Hangout (untuk berkomunikasi via chat maupun video call).
Zoom bisa untuk video konferensi, jadi bisa dipakai juga untuk kelas/kuliah online. Tapi berhubung saya pakai Hangout, jadi belum pernah pakai Zoom.
Di Indonesia, WhatsApp (WA) dipakai untuk komunikasi biasa dan komunikasi berbelanja. Tidak aneh ketika WA termasuk yang dipakai juga untuk komunikasi bisnis. Persoalan budaya dan keamanan dari WA adalah WA kurang aman karena teknologinya tidak mengenkripsi. Di sisi budaya, masih banyak yang mengirimkan dokumen-dokumen yang bersifat rahasia (dalam format PDF, XLS, dsb) via WA. Kalau ingin aman, lagi-lagi saya merekomendasikan kelompoknya Google.
Sekolah/Kuliah: Microsoft Team atau Google Classroom.
Jenis-jenis Aplikasi WFH
[…] Sudah Siapkah Kita untuk Work From Home […]