Kalau versi ‘mistis’ dari desain dan rancangan rumah panggung konon sebagai berikut ini. Dahulu, nenek moyang kita percaya dengan kekuatan-kekuatan alam. Di mana, ‘atas’ adalah alam Tuhan, ‘tengah’ adalah alam manusia, dan alam ‘bawah’. Tidak heran, hewan-hewan diternakkan di bawah panggung rumah, manusia di ‘tengah’ alias di panggung-nya, dengan bagian atap berperan sebagai lumbung padi perlambang anugerah pemberian Tuhan.
Struktur dan lantainya didominasi oleh kayu pohon ulin. Jadi bisa dikatakan, rumah-rumah panggung di sini didominasi oleh kayu dan perkayuan. Jangan meremehkan karakter kayu sebagai bahan dasar pembangunan rumah ya. Karena kayu memiliki kelebihan pada kelenturannya. Jadi meski dihuni oleh banyak orang, rumah panggung berbahan kayu pun tidak ambruk. Sebab, berbagai tekanan maupun getaran yang ditimbulkan akan diserap oleh kelenturan material kayu tersebut. Terasa sekali dari langkah-langkah kaki kita di atas rumah panggung, namun tanpa perlu diliputi oleh rasa kekhawatiran akan kemungkinan ‘terjeblosnya’ kita ke bawah. Berbeda dengan beton keras yang cenderung ‘melawan’.
Untuk cuci piring, kebanyakan melakukannya di lantai keramik (kira-kira luasnya 2×1 meter) yang diisolasi oleh dinding bata berkeramik setinggi kurang lebih 10-15 cm. Jadi ada keran di sini yang menarik air dari bawah ditemani dengan beberapa buah ember/waskom. Hanya sebagian kecil rumah panggung yang memiliki bak cuci (washtank).
Sebagaimana sudah disebut di atas, kamar mandi banyak pula yang berada di bagian bawah rumah. Alias dari ‘panggung’ harus menuruni tangga-tangga kayu menuju kamar mandi atau toilet; yang bila masih sangat tradisional, mengandalkan air dari sumur. Lebih canggih sedikit, akan menggunakan pompa air dan keran.
Di daerah keluarga saya banyak bertempat tinggal (dekat Kota Parepare tapi masih wilayah Barru, sudah cukup modern secara pengetahuan dan relatif mapan ekonomi masyarakat setempat. Meskipun rumah berbahan kayu, namun memiliki kendaraan pribadi (didominasi sepeda motor, sebagian kecil memiliki mobil) dan pemuda-pemudanya banyak yang sarjana –dari kota Makassar.
Karena hampir 100% didominasi oleh kayu –saya pakai kata ‘hampir’ karena saya gak yakin sepenuhnya rumah-rumah panggung ini benar-benar 100% kayu—maka bisa dikatakan rumah ini relatif ringan. Dan oleh sebab itu, rumah panggung tersebut dapat dipindahkan!
Dan ternyata pemindahan rumah panggung memang pernah terjadi di keluarga besar kami. Yaitu ketika nenek saya menjual bangunan rumahnya kepada seorang tetangga. Jadi bangunan tersebut dipindahkan oleh banyak warga masyarakat (tentu didominasi oleh tetangga setempat, ya) ke tanah milik tetangga tersebut yang berjarak hanya puluhan meter. Jadi, transaksi yang terjadi bukan jual beli tanah dan bangunan –seperti yang umum terjadi—namun, hanya meliputi bangunannya saja.
Berikut ini contoh pemindahan bangunan rumah panggung –yang ternyata ada upacaranya segala. https://www.youtube.com/watch?v=uXrzpGCebKw
Berhubung kebanyakan kota-kota di Sulsel masih didominasi oleh kabupaten (hanya tiga kotamadya, yaitu Makassar selaku Ibukota Provinsi, Parepare serta Palopo) yang mencerminkan pula tingkat perekonomian secara umum, maka bisa dikatakan harga tanah relatif belum mahal di kabupaten-kabupaten tersebut. Sehingga kepemilikan tanah per Kepala Keluarga (KK) pun relatif luas (di atas 150 meter persegi) yang berakibat pada luasnya bangunan rumah-rumah panggung tersebut di atas.
Nah, dalam pada tingkat keakraban antar warga yang masih kental, diikuti dengan aktifitas warga masyarakat yang tidak terlalu commuteseperti di Jabodetabek, maka bangunan rumah panggung berfungsi ganda. Tidak hanya sekedar tempat tinggal, namun juga sebagai lokasi penyelenggaraan acara-acara besar keluarga seperti akad nikah, sunatan, dan acara-acara monumental lainnya.
Bangunan yang luas, didukung dengan keakraban dan bantuan dari tetangga-tetangga dalam penyelenggaraan acara, semakin mengokohkan posisi rumah panggung sebagai (1) tempat tinggal yang cocok untuk lingkungan kabupaten dengan jarak antar rumah yang tidak saling menempel, dan sebagai (2) infrastruktur yang menopang kokohnya kehidupan bermasyarakat warga bugis di Sulsel.
Sekedar perbandingan, semakin memasuki pusat Kota Parepare, maka kita akan semakin jarang menemukan keberadaan rumah panggung. Kurang lebih, perkiraan kasar hasil observasi saya, rumah panggung sudah berkurang hingga 20%-25% saja. Di dalam lingkungan perkotaan yang padat penduduk, dengan harga tanah relatif lebih mahal, maka rumah panggung bukan lagi solusi tempat tinggal yang wajib mendapat prioritas utama. Masih tetap ada yang mempertahankan rumah panggung di Kota Parepare, namun keberadaannya tidak sebanding dengan dominasi rumah batu (bata).
Demikian observasi kasar saya selama dua hari di Kabupaten Barru dan dua hari di Kota Parepare ini. Besok pagi kami akan menempuh perjalanan menuju Kota Makassar. Yang tentunya, dinamika tempat tinggalnya lebih tinggi daripada dua daerah tingkat II yang sudah disebutkan sebelumnya.
BACA JUGA: Journal
Tentu saja, ada beberapa filosofi di balik desain dan pembangunan rumah panggung di suku-suku bangsa di Indonesia. Di sini, saya akan menjelaskan beberapa di antaranya:
Secara keseluruhan, desain dan pembangunan rumah panggung di suku-suku bangsa di Indonesia mencerminkan filosofi yang dalam dan kompleks, yang menghargai keberadaan alam, kepercayaan kepada Tuhan, hubungan dengan leluhur, serta pentingnya kebersamaan dalam keluarga.
Rumah panggung bukan hanya di tanah bugis saja loh..banyak daerah lain di Indonesia yang juga memiliki rumah panggung.
Atau mungkin karena orang bugis sudah menyebar ke daerah di lur sulsel yaa…
Mungkin di antara keduanya (persebaran rumah pannggung dengan persebaran orang bugis) ada hubungan, atau tidak ada hubungan. Saya akan coba riset lebih lanjut mengenai hal tersebut.