Perubahan Hidup Selama Pandemi

Bukan hanya bagaimana saya bekerja yang berubah; tetapi juga dimensi-dimensi lain dalam hidup. Dan bagaimana mengumpulkan keping-keping hikmah dari sana.

Kantor “merumahkan” separuh dari kami selama sepekan. Dan separuh lainnya di pekan berikutnya. Dan begitu seterusnya entah sampai kapan. Sampai pandemi ini berakhir, tentu saja. Tapi kapan itu? Belum ada yang tahu.

Satu yang saya yakini dari work-from-home adalah produktifitas kita tidak akan sama dengan berada di kantor. Bukan sekedar perbedaan ruang, namun juga suasana saling mendorong untuk produktif itulah yang ada di kantor. Di sanalah kita wajib menjawab tantangan bagaimana supaya tingkat performansi kita tetap sama.

Saya selalu mandi pagi sebelum bekerja. Mandi pagi adalah “ritual”. Bekerja sebelum mandi, rasanya bekerja kurang mantap. Sambil mandi, “merapal” apa-apa saja yang mau dikerjakan. Sembari me-review juga yang sudah dilakukan kemarin. Bagaimana melanjutkan pekerjaan kemarin dengan pekerjaan hari ini.

Yang jelas, tidak ada lagi ritual “melihat jalan raya” dalam perjalanan ke kantor. Percaya atau tidak, itulah yang membuat saya lebih betah di kantor daripada di rumah. Karena bekerja di rumah, sooner or later, akan membosankan.

Aktifkan tethering di HP, lalu membuka laptop harus diiringi dengan kesadaran “saya tidak bekerja sendiri”. Seseorang, atau beberapa orang rekan di kantor, sedang menunggu hasil dari yang saya kerjakan. Atau sebaliknya, saya menunggu seseorang menyerahkan sesuatu kepada saya untuk kemudian saya tindak-lanjuti. Karena saya tidak bekerja sendirian. Sama seperti di kantor, membuka youtube atau aplikasi hiburan yang lain tidak boleh lama-lama. Penulis seperti saya, malah lebih sering “terjebak” di blog-blog instead of socmed video-audio tersebut.

Anak-anak di rumah belum sekolah. Belum merasakan rutinitas belajar bersama guru di ruang kelas. Belum paham rasanya punya teman. Praktis, di rumah saya tidak terbebani untuk jadi guru sementara sebagaimana banyak orang tua yang lain. Banyak yang mengeluhkan, karena baru menyadari, bahwasanya menjadi guru itu berat ternyata. Seorang teman sampai bernyanyi, “hormati gurumu, sayangi temanmu” dst sembari mengajar anaknya di rumah. Yang baru paham setelah mempraktikkan betapa rumitnya menjadi seorang guru.

Tapi, berhubung mereka seumuran, mereka jadi teman satu sama lain. Sesekali, menjadi “musuh” bagi saudaranya. Terutama ketika jenuh melanda. Pelampiasannya ke hape tersebut di atas. Yang sedang dipakai tethering. Tidak jarang, hape dibawa pergi menjauh dari laptop sang pekerja. Sinyal menghilang, tiba-tiba luring (luar jaringan), alias offline. Usut punya usut. “pencuri” hape ternyata asyik-masyuk menikmati youtube pahlawan kesayangan yang sedang battle. Tidak lama, entah sebab yang mana -ada terlalu banyak sebab- tiba-tiba mereka “battle” sendiri. Tentu si pekerja harus meninggalkan layar, berubah peran menjadi pelerai.

Di momen lain yang tidak terjadi sekali dua kali, tiba-tiba si laptop offline. Setelah penelusuran oleh tim investigasi, ternyata hape kehabisan daya di tangan-tangan dua orang penonton (youtube). Jadilah hape di-charge. Sembari diberikan informasi, “jangan dicabut ya dari charger-nya”. Tidak lama kemudian (lagi), offline lagi. Ditengoklah ke charger. Hah?! Hapenya sudah tidak ada. Rupanya dua tersangka membawa pergi device youtube-nya “mereka”. Menonton (lagi) sampai habis daya (lagi).

Pandemi ini mengubah separuh pola makan saya. Yang sesekali jajan di warung, menjadi tidak jajan sama sekali. Harus menu rumahan. Pokoknya mengubah isi kulkas menjadi masakan aja. Sarapan nasi kuning atau kupat tahu petis terpaksa di-hold dulu. Jajan-jajan gorengan distop sama sekali. Waspada saja. Barangkali kang gorengannya termasuk OTG (orang tanpa gejala).

Belanja ke pasar ga boleh rame-rame. Cukup seorang saja. Dan perbanyak protein. Biar kuat menghadapi virus. Terpaksa merogoh kocek lebih dalam. Padahal koceknya saja enggak dalam-dalam amat. Sedapatnya saja. Sering pula belanja tahu di kang yang lewat. Kalau bukan untuk dimakan sendiri, setidaknya untuk snack dan lauk maksi-nya pak-pak tukang renov. Minimal, kami berniat supaya beliau berdua tidak ikut sakit juga. Repot kalau kami ketularan, atau mereka yang ditulari kami.

Sekian ratus menit terhemat akibat pandemi ini. Hidup jadi lebih efisien. Karena tidak menghabiskan sekian menit pergi-pulang kantor. Ambil minum beberapa langkah; bukan puluhan langkah. Meeting online, tidak di ruang meeting atau ke meja rekan. Sepatutnya jadi jalan memperbanyak amal ibadah yang ringan seperti membaca Al-Quran.

Seperti sempat saya singgung di atas, stay-at-home dan work-at-home itu membosankan. Bahkan membuat stress. Namun, ini worth it untuk dijalani dan it shall pass, too. Justru di momentum seperti inilah passion rebahan kita sedang diuji. Dunia membutuhkan kepahlawanan kita! Yaitu bagaimana kita bisa konsisten stay-at-home selama berhari-hari dan berminggu-minggu (mudah-mudahan tidak lebih dari dua bulan, ya) bersama dengan passion rebahan kita.

Hiburan saya di sabtu dan minggu malam. Kini tiada lagi. Mudah-mudahan sementara saja. Lebih baik bermain tanpa penonton di stadion di tanah-tanah Britania demi hadirnya konten sepakbola berkualitas di (layar-layar kaca) di tanah air. Sebenarnya, mereka sendiri juga tidak kuat menjalani keadaan demikian. Karena pengeluaran gaji, perawatan stadion, dan sebagainya juga jalan terus. Bisa bangkrut kalau tidak segera dijadwalkan dan dimainkan kembali partai-partai yang terhutang tersebut. Mungkin tidak semua jadwal pertandingan bisa direalisasikan, tapi setidaknya berilah kesempatan kepada para fans Liverpool untuk melihat timnya juara. Yeeaaahhhhh!!!!! (ikut lebay karena tidak juara selama 30 tahun).

Selalu ada hikmah di balik krisis. Pandemi ini memutar-balikkan kebiasaan-kebiasaan “jahiliyah” kita sebelumnya. Kumpul-kumpul yang tidak perlu. (padahal tidak ada wajah baru dalam perkumpulan tersebut. Tidak juga membicarakan proyek baru). Minum-minum gula yang berlebih via kopi dan teh di kafe. (padahal sudah minum satu di antara keduanya di rumah. Gulanya dua sdm, pula!). Ambil makanan atau pegang sesuatu tanpa cuci tangan (kini jadi lebih sering cuci tangan menggunakan sabun sampai ke punggung tangan yang dialiri air mengalir selama dua puluh detik).

Sebagai homo sapiens dan umat Nabi Muhammad, hendaknya kita menjadi manusia-manusia yang berpikir ya. Merenungi dan meresapi hikmah dari semua ini. Sulit memang membuktikan kaitan pandemi ini dengan kegagalan-kegagalan kita menjadi khalifah di muka bumi. Tapi setidaknya kita men-tafakkur-i dan berdiskusi dengan rekan maupun keluarga perihal hikmah-hikmah tersebut. Bukan mem-forward terus-terusan narasi yang sulit dibuktikan tersebut ke grup-grup WA kita. Justru, di sanalah yang membedakan kaum-kaum yang berpikir dengan yang tidak.

2 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  1. semoga semuanya kembali normal.
    Bekerja dari rumah memang tidak segairah dan seproduktif kerja di kantor. Tapi kuncinya adalah di diri kita sendiri, gimana kita membuat ruang kerja di rumah nyaman, dan jam kerja yang proporsional.

    Hal penting lainnya adalah jangan lupa olahraga ringan! Yah sebenernya sih ini penting mau kerja di rumah ataupun di kantor. Tapi plus nya kerja di rumah adalah kita bisa olahraga ringan lebih banyak.

    Ambil sisi positifnya aja. Kapan lagi bisa kerja sambil rebahan eheheheh….
    Meskipun yah (dulu waktu saya masih kerja di kantor) kerja sambil rebahan tetap bisa dilakukan. – karena kerja di startup yang punya lingkungan kerja super asyik.