Mengulas Karya-Karya Iqbal Aji Daryono

Post kali ini mengulas buku dan profil seorang esais bernama Iqbal Aji Daryono. Termasuk bagaimana teknik penulisan yang biasa dia lakukan

Mari kita mengulas karya buku dari sese-penulis bernama Iqbal Aji Daryono, ya. Kebetulan beberapa minggu lalu saya baru tuntas mengikuti kelasnya. Mudah-mudahan ada kesempatan lain untuk mengulas kelas menulis online (KMO) tersebut.

Sependek pengetahuan saya, bukunya beliau ini ada lima. Ada dua karya buku hasil dari “menemani istri”-nya selama di Australia: Out of the Truck Box dan Tak Ada Kernet di Australia. Yang Out of the Lunch Box adalah kumpulan esai. Kamu mungkin tahu beliau awalnya populer dari mojok.co tetapi esai-esai beliau kemudian banyak kita temukan di detik, geotimes, dan lain sebagainya. Lalu, ada kompilasi artikel+komik yang dikemas “Apakah Seorang Pendosa Tak Boleh Lagi Berkarya?” dan renungan-renungan singkat tentang berbahasa dalam Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira. Rangkaian karya yang saya sebut mungkin tidak sesuai urutan penerbitan. Sentilan Iqbal Aji Daryono.

Beliau ini alumnus Balairung UGM. Itu adalah unit kegiatan mahasiswa (UKM) jurnalistiknya kampus gajah mada tersebut. Saya tentu tidak hafal siapa saja alumninya -saya aja gak sekolah di sana, kok – namun tiga orang di mantan kantor saya pernah aktif di Balairung. Setidaknya, para alumnus ini ada jejak sejarah pernah belajar, berlatih dan berpraktik menulis berita. Ya, namanya juga jurnalistik, ‘kan. Bukan youtuber yang mengaku hanya mewawancara tapi tidak mau bertanggung jawab atas isi kontennya. Hehehe.

Sebagai wirausaha di bidang penulisan, yang beberapa orang menyebutnya ‘writerpreneur‘ — saya agak nganu gimana gitu ya sama istilah ini– rupanya beliau ini sempat memulai usaha penerbitan di Jogja. Selain kota tugu tersebut, Bandung juga lumayan banyak penerbit indie-nya setahu saya.

Yang jelas, takdir beliau rupanya bukan sebagai orang ‘pabrik’ buku. Melainkan ‘public figure‘ di bidang kepenulisan. Beliau menyebutnya ‘esais’, yaitu menulis esai-esai yang kemudian dimuat di berbagai media digital. Iya, media digital. Media yang belum tentu berupa koran atau majalah layaknya media massa pada umumnya.

Beliau beropini kepada kami peserta KMO bahwa postingan di facebook maupun media digital pada umumnya, menuntut penanganan yang berbeda dari kita para penulis. Praktik-praktik penulisan yang memudahkan pembaca untuk skimming (instead of reading), format tulisan yang diberi jeda tiap berapa baris, dan seterusnya adalah serangkaian upaya media-media digital (termasuk kita di jendela facebook kita sendiri), untuk mempertahankan para pembaca guna tetap bertahan menelusuri kata demi kata yang kita ungkapkan. Ingin tahu lebih jelas, tentu kamu harus mendaftar dan ikut sebagai peserta KMO. Hehehe. Saya bantu promosikan ya, pak guru.

Yang hebat -dan layak kita tiru- adalah keterampilan beliau dalam menuangkan hal-hal yang mungkin tidak dipikirkan oleh kebanyakan orang. Pengalaman 4 tahun di Australia sebagai sopir truk/box saja bisa menjadi 2 buku. Ini butuh perenungan dan jam terbang ya, kata saya. Meskipun beliau meragukan bahwa kumpulan tulisan tidak seharusnya disebut buku kenyataannya artikel-artikel tersebut memang dijahit rapi dalam satu tema. Lagipula, sudah sekitar satu dekade barangkali ya, praktik penerbit dalam menyusun dan mengemas tulisan-tulisan di blog menjadi naskah buku yang kemudian dijilid (dibukukan).

Mungkin bisa jadi inspirasi kamu para narablog (blogger) ya untuk konsisten menulis sebanyak 35-40 blogpost dalam tema yang sama untuk kemudian dibukukan.

Sebagai public figure, beliau banyak menerima undangan ceramah maupun diskusi mengenai kepenulisan, literasi, per-buku-an, dan sejenisnya. Sedikit di antara kita menyadari, bahwa yang biasa menulis ternyata gak biasa ngomong di depan orang banyak (public speaking). Dan demikian pula sebaliknya. Jadi, beliau ini paket lengkap, sebenarnya. Eh, untungnya.


Membaca dan menulis itu ‘kan bagian dari beradab dan berbudaya ya. Di mana, tidak seharusnya KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengungkung dan mengekang kita dalam berbudaya itu sendiri. Saya sependapat dengan Mas Iqbal, bahwasanya KBBI adalah panduan dalam berbahasa; khususnya mengenai mana yang baku dan tidak baku. Jadi, KBBI tidak boleh menjadi kompas moral kita dalam berbahasa; yang menghakimi kita –sebagai pengguna dan penikmat berbahasa– atas yang benar atau salah. Ini adalah pesan yang saya dapatkan dari buku berwarna kuning dalam gambar di atas.

Hal lain yang menarik untuk kita teladani dari teknik penulisan mas Iqbal adalah bumbu-bumbunya. Ini perlu ada. Lagi-lagi supaya pembaca betah dengan rangkaian teks dari kita. Ibarat masak sayur, gak ada asin atau asam sama sekali malah gak enak; karena hambar membuat sayurnya tidak dikonsumsi. Jadi, pesan-pesan serius maupun bumbu-bumbu bercanda harus diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi menu yang menggiurkan untuk disantap.

Apabila rekan-rekan pembaca sekalian bertanya, apakah buku-buku di atas perlu dikoleksi dan dibaca berulang-ulang? Saya menjawab, iya jelas. Kalau berminat dengan penulisan non-fiksi. Khususnya bagi anda-anda yang ingin menyampaikan gagasan serius dengan kemasan yang lebih menghibur. Yang terakhir ini memang seringkali dibutuhkan oleh para pendidik ya. Semisal dosen, guru, pelatih (trainer), atau pengajar.

Yang jelas, karya-karya tersebut merupakan kumpulan esai. Yakni pemikiran dan pengalaman yang direnungkan mendalam. Bukan suatu fiksi dengan karakter-karater imajinatif yang menjalani plot cerita tertentu.


Akhir kata, sebagaimana banyak membaca akan memperluas pengetahuan dan memberi bahan bakar untuk aktifitas menulis, maka menambah referensi penulis favorit juga sama pentingnya guna meningkatkan kapasitas kita sebagai penulis.

Baca juga ya, review buku Filosofi Teras.

2 Comments

  1. Hallo kak,
    wah saya jadi tertarik beli buku karya mas Iqbal. Sebagai pemula yang baru menulis, ilmu-ilmu seperti ini penting sekali untuk menjadikan apa yang ditulis ngga kaya wikipedia hehehe. Semoga saya nemu versi digital buku ini.

    Oia maksudnya 35-40 blogspot dengan tema yang sama itu apakah 35-40 artikel kah?

    Makasih kak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *