Sewaktu istri dan adik perempuan saya dengar dari saya sendiri bahwa saya seorang introvert, mereka kaget. Awalnya, mereka duga saya adalah seorang ekstrovert. Tapi saya tidak mau bertanya lebih lanjut, saat itu.
Baca juga: Meski Introvert, Kamu Tetap Bisa Menjadi Pemimpin yang Sukses.
Ada dua kemungkinan memang. Pertama, spektrum introvert-ekstrovert yang mereka kenal, mungkin berbeda dengan yang saya ketahui. Kemungkinan lainnya adalah saya sudah berubah menjadi lebih ekstrovert daripada yang bahkan saya pernah duga.
Saya mau bahas topik ini, simply karena ternyata banyak introvert ini merasa tidak nyaman dengan weakness yang secara umum disematkan kepada para introvert. Misalnya, karakter seperti pendiam, tidak mau bergaul, dan sebagainya.
Saya mengakui saya cukup pendiam, memilih-milih dengan siapa saya berinteraksi, mencari inspirasi dari dalam diri saya sendiri, dst. Beberapa menilai saya “lemah” karena demikian.
Padahal, namanya juga karakter kan, ada strength dan weakness-nya. Demikian juga dalam karakter introvert. Pasti ada keduanya. Tidak mungkin cuma punya strength. Pasti ada wekness-nya juga. Oleh sebab itu, dengan bijak saya pikir dan simpulkan, jangan bahas weakness-nya seseorang saja. Itu tidak nyaman dan sesungguhnya tidak sopan.
Lihat yang saya temukan di quora. Pertanyaannya berbunyi, “Mengapa introvert sering dipandang rendah?” Hal ini tentu mengindikasikan temuan-temuan di lapangan yang notabene memang demikian adanya.
Daripada bertanya demikian, menurut hemat saya, lebih baik pikirkan tentang strength orang tersebut dan apa yang bisa kamu lakukan bersama dengannya. Jadi, berikut ini tanggapan saya terhadap pertanyaan tersebut.
Menurut saya, karena lingkungan kita terlalu mengidolakan para extrovert.
Padahal, kita sebagai individu maupun kelompok, membutuhkan keduanya secara seimbang. Berikut beberapa kasusnya:
Orang-orang ekstrovert jago menjual apa saja. Bahkan untuk hal sederhana seperti makan di mana, pergi ke mana. Kita introvert tidak harus seperti itu. Namun, harap diingat kewajiban kita juga: kita wajib bisa “menjual” gagasan, produk, bahkan karya kita.
Orang-orang ekstrovert tampak berteman dengan semua orang. Untuk introvert, kita cuma harus melakukan filter lalu berhubungan dengan orang-orang yang tepat: para pengambil keputusan, orang berkantong tebal, dll.
Lingkungan kita juga kelewat memberi penilaian lebih pada leadership dan team work. Padahal, hal-hal semacam fokus, konsistensi, perhatian pada detil juga tidak kalah penting.
Introvert dipandang rendah karena tidak bisa memimpin. Terhadap perspektif tersebut, menurut saya, ada dua hal yg bisa dilakukan oleh intovert:
Jadi anggota tim yg baik. Tidak membebani tim, supportif dan melakukan coaching kepada anggota tim yg lain, proaktif terhadap pekerjaan, dst. Jangan lupa sesekali ikut makan siang bareng atau ngopi sore/malam bersama anggota tim yang lain.
Be the best in your area of specialist area. Jadilah yg terbaik, sampai mereka sangat berharap pada anda. Seperti sebuah judul buku, “Be so good, They Can’t Ignore You“.
Dalam dunia kerja, kerja tim (team work) dan kepemimpinan (leadership) adalah dua aspek kepribadian yang dipantau, dinilai dan dianggap signifikan dalam perjalanan perusahaan sebagai sebuah institusi bisnis. Baik sebagai subordinat (bawahan) atau superordinat (atasan).
Ambil contoh resign-nya seorang karyawan. Dari sisi HR (Human Resources) hal tersebut dapat dijadikan sebagai umpan balik (feedback) perihal compensation and benefit. Dari sisi leadership, hal tersebut bisa jadi karena karyawan yang bersangkutan merasa tidak nyaman dalam bekerja. Dalam hal memberikan situasi dan kondisi yang optimal terhadap masing-masing karyawan, memang merupakan seni tersendiri. Seni kepemimpinan. Since, leadership is an art.
Tapi, persoalannya adalah tidak semua introvert mampu memberikan lingkungan yang kondusif bagi tiap pribadi yang menjadi bawahannya, bukan?
Bagaimana kita sebagai introvert memandang hal ini?
Menurut saya, strength-nya introvert itu terletak pada fokus, konsistensi, dan perhatian pada detil. Tentu ini sekilas menurut pandangan saya semata. Sebagaimana tersampaikan dalam jawaban Quora di atas.
Kaitan dengan hubungan terhadap orang lain, introvert secara umum tidak menyerap ide, inspirasi, aspirasi dari orang lain. Introvert malah menemukan ketiganya dari dalam diri sendiri. Tidak heran, introvert yang lelah berada di keramaian kemudian harus memberikan “penawar” yang seimbang berupa meditasi/perenungan/refleksi di kesendirian kepada dirinya,
Leadership and team work seakan domainnya para ekstrovert. Tidak heran hampir seluruh perusahaan menuntut keduanya dari tiap karyawannya. Yang secara tidak langsung menuntut mereka semua berperan dan berkarakter sebagai ekstrovert di perusahaan.
Padahal, dalam tiap pekerjaan masing-masing, terutama yang berkaitan dengan teknis (technique), seni (art), karya (craft) harus diberikan porsi ke-introvert-an (introvertness) yang cukup. Sehingga kita terus-menerus melakukan perbaikan berkelanjutan (continous improvement) pada pekerjaan kita.
Tidak semua pekerja harus naik ke level manajemen. Sebagian karyawan harus didorong untuk menjadi professional yang paling expert di bidangnya masin-masing. Dan sebagai introvert, boleh lho kita memilih untuk masuk ke kategori kedua.
Kaitan dengan pertemanan, ada sebuah buku dengan judul yang sangat provokatif “Never Eat Alone”. Awalnya tidak percaya. Tapi lama-lama terasa benar dan saya selalu berusaha mempraktikkan di setiap waktu. Itu baru satu tips dalam buku tersebut (yang kemudian menjadi judul bukunya, yah). Tapi tips-tips sejenis dari buku tersebut juga sangat bermanfaat dan applicable untuk dipraktikkan.
Demikian renungan hari ini.
I am an introvert too kak! And this post is so true in so many levels. Dan tips yg diberikan menarik sekali kak, krn smp skrg sy msh suka eat alone. Mgkn saatnya utk Never Eat Alone hehe