How to Becomes a Digital Talent?

Selain mahir dalam bidangnya, digital talent juga perlu 'visible' di internet. Update dengan perkembangan app juga tak kalah penting.

Digital talent adalah talenta/individu dengan keterampilan digital. Sebagaimana kita tahu, digitalisasi terjadi di semua bidang. Kita manusia semakin banyak bekerja maupun berinteraksi via aplikasi digital.

Dengan sendirinya tenaga kerja yang dibutuhkan saat ini, adalah talenta digital atau dengan kemampuan digital. Seperti content writer, youtuber, business/system analyst, developer/programmer, terkait data (data engineer, data analyst, dll), social media (analyst, strategist, dll).

Sound engineering juga dilakukan secara digital. Banyak dipuja-puji tuh sound engineer-nya .NET TV. Padi Reborn Sang Penghibur jadi nikmat banget didengar. Lebih seimbang gitarnya Piyu dengan gitarnya Ari Homer.

Dulu untuk membuat materi tulisan, seorang penulis harus ke perpustakaan, membuka banyak buku untuk melakukan riset, baru bisa membuat tulisan. Sekarang, penulis digital bukan lagi kekurangan informasi, bahkan kebanjiran informasi. Kalau sebelumnya bingung karena tidak pernah konten yang memuat hasil riset atau interpretasinya, sekarang bingung memilah mana informasi yang benar atau hoax.

Dulu bikin desain, paling keren kalau pake keluarganya Adobe: Photoshop maupun Illustrator. Cupu sedikit, pakenya PowerPoint. Sekarang, buat begitu bisa pakai canva.com saja. Tiba-tiba, semua orang bisa mendesain dengan lebih cepat sekarang.

Profesi penulis, visual designer, atau profesi-profesi lainnya sebenarnya masih ada. Bukan tergilas dan tergantikan akibat digitalisasi atau robot. Tetapi, perlu diingat bahwa tanggung jawab, deskripsi pekerjaan, dan tetek-bengek yang disusun oleh recruiter jadi bergeser. Digital talent wajib adaptif terhadap pergeseran tersebut.

Pergeseran ini sebenarnya yang paling signifikan terjadi. Yang sedikit lebih kecil adalah hilangnya suatu pekerjaan karena automasi; digantikan oleh roles (peran-peran) yang baru.

Sebagai contoh, orang dulu menduga keberadaan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) baik berupa mesin maupun kartunya, akan menggilas pekerjaan teller. Kenyataannya, peran teller-nya tetap ada, tetapi bagian yang bisa swalayan (self-service) oleh nasabah dihilangkan dari job description-nya.

Teller maupun Customer Service (CS), sekarang lebih berupaya pada menyelesaikan persoalan nasabah, menawarkan produk baru, dan lain sebagainya. Karena itu tadi, persoalan yang bisa diselesaikan secara automatic maupun self-service diserahkan pada mesin/robot bernama ATM.

Jadi, di masa yang lebih depan sedikit, manusia akan mengerjakan apa – berdampingan dengan bantuan dari berbagai mesin/robot – dan bagaimana para digital talent bisa memperoleh pekerjaan-pekerjaan tersebut?

Rise of Online Learning

Tren terbaru dalam rekrutmen tenaga kerja adalah mengutamakan pengalaman ketimbang pendidikan dari si calon karyawan.

Nah, saran saja nih kepada pencari kerja: pengalaman bisa didapat dari magang (internship) maupun eksplorasi sendiri terhadap aplikasi-aplikasi digital. Lebih keren lagi di mata pemberi kerja (employer) kalau eksplorasi tersebut kita berikan ‘judul’ proyek.

Sekarang kalau butuh partner belajar juga lebih terjangkau. Sudah banyak platform untuk belajar secara online dengan berbagai materi yang tersedia. Waktu yang lebih singkat, harga yang lebih terjangkau.

*Uni Hicha Aquino sempat menulis Review Online Learning Platform.*

Saya sendiri baru sekali belajar di platform semacam itu. Dibayari kantor untuk belajar di Udemy, materinya tentang technical documentation. Kalo yang bayar sendiri dan dari lokal Indonesia, lebih banyak โ€˜manualโ€™-nya. Pakai zoom, rekaman video, tugas online, WhatsApp Group, dst.

Kursus-kursus singkat ini bisa banget mendorong/memaksa kita untuk belajar newer version of a digital app. Namanya aplikasi digital kan, versi barunya akan terus ada. Atau, paid version-nya lebih kompleks daripada gratisannya. Menuntut kita untuk lebih advanced terus. Selain lewat kursus, ini bisa lewat komunitas juga, kok.

Soal online learning ini, kita sebagai buyer, customer, atau user harus sering berhati-hati dalam memilih dan menggunakan layanan pembelajaran daring. Sebab ada yang namanya fake gurus. Detailnya bisa disimak di post tersebut.

Saya tidak ingin menabrakkan kursus singkat dengan pendidikan tinggi (PT). Keduanya sama baiknya dan punya porsinya masing-masing. Namun, dalam perspektif pemberi kerja, alangkah baiknya ‘lulusan’ kursus atau PT memiliki pemahaman fundamental dalam pekerjaannya. Sehingga bisa beralih mengoperasikan mesin/alat/robot yang berbeda.

Perlu kita ingat, lulusan kursus belum tentu terampil dan tidak semua lulusan PT memiliki fondasi keilmuan yang baik. Apapun pendidikannya, pekerjaan-pekerjaan kita semestinya bisa mengantar kita untuk semakin punya pemahaman yang mantap/kokoh (fundamental). Sehingga pindah-pindah alat, mesin, platform, tidak menjadi masalah besar.

Journaling: A Content Project

Klise banget kalo blogger merekomendasikan blogging ya. Tidak spesifik nge-blog di blog, maksud saya. Tetapi journaling mungkin lebih tepat. Alias secara rutin nge-post tentang topik-topik yang kita pikirkan – secara terus menerus. Mediumnya bisa facebook, instagram, twitter. Kebetulan, saya lebih suka format keluarannya berupa teks yang panjang, yaitu blog.

Ada tiga alasan mengapa saya merekomendasikan blogging sebagai proyek konten kita:

Pertama, ini bagian dari berinvestasi dalam keahlian kita. Apapun pekerjaan kita, do blogging. Ini semacam retrospeksi terhadap apa yang kita lakukan. Merefleksikan apa yang kita lakukan. Bisa berupa mempertanyakan teori yang kita ketahui. Mengartikulasikan teori untuk lebih mudah dipahami – lewat pemberian contoh.

Kedua, mengembangkan sudut pandang (developing personal point of view). Blog itu semacam PR ya. Pekerjaan rumah yang membuat saya tampak lebih baik atau lebih profesional di luaran. Kenapa? Karena lewat ngeblog, saya jadi punya “prinsip”. Bisa prinsip dalam kehidupan, atau minimal prinsip dalam berpikir. Blog juga menunjukkan ke luar bahwa, saya “berpijak” pada sesuatu (stand for something).

Ketiga, menjadikan kita lebih mudah ditemukan. Saya tahu, mencari orang atau topik bisa dilakukan di kolom search twitter, facebook, instagram. Tapi SEO bekerja hanya di google.com atau youtube.com. Maksud saya, kita akan lebih ‘bertahan lama’ dalam cache-nya Google atau YouTube kalau kita membuat konten di sana. Alias bikin weblog atau channel sendiri.

Alangkah indahnya kalau kita sebagai digital talent, mudah ditemukan di jagat internet ๐Ÿ˜€

Sejak saya nge-blog, alur berpikir saya relatif lebih sistematis dan “rapih”. Membedakan gejala dengan akar masalah. Menemukan dan mengurutkan aktifitas atau proses ke dalam runtutan yang baik. Menunjukkan kepada dunia siapa saya dan apa yang senang saya lakukan. Merek-merek yang merepresentasikan saya, dan lain sebagainya.

Yang terakhir, dan paling utama, blog juga mengantarkan saya ke pekerjaan-pekerjaan saya sekarang.

Baca Juga: 10 Jurusan Kuliah Digital Marketing di Indonesia.

Barangkali kamu ada pengalaman, bagaimana mengembangkan diri sebagai digital talent? Bagikan di kolom komentar, ya ๐Ÿ™‚

Referensi: https://www.consultantsmind.com/2017/03/03/blogging/

2 Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    • Namanya talent, kan bakat ya. Nantinya, menurut saya, semua orang akan membawa bakat digital-nya sejak lahir. Ada yang bakatnya besar, ada juga yang bakatnya apa adanya saja. Hehe. Tapi bakat saja tidak cukup kan. Paparan (eksposure) dan eksplorasi terhadap dunia digital perlu terus dilakukan supaya bakat enggak hanya jadi bakat semata.