Beda Part Time dan Freelance

Part time dan freelance memang beda. Perbedaannya terletak pada apa yang bisa kamu lakukan di luar part time dan freelance tersebut.

Dalam hal kita mengambil/memberi pekerjaan dari/kepada orang lain, kita bisa mengukurnya berdasarkan total pekerjaan itu sendiri, yang terdiri dari tugas-tugas yang lebih kecil. Bisa seperti itu, bisa juga kita mengukurnya berdasar pada berapa lama kita mengerjakan pekerjaan atau tugas-tugas tersebut.

Untuk yang pertama, kita bisa menggunakan ukuran lumpsum atau istilah lapangannya adalah borongan. Untuk yang kedua, ukurannya adalah jangka waktu.

Asumsi-asumsi yang umum dipakai untuk yang kedua, antara lain adalah: satu bulan ada 20 hari kerja, satu pekan terdiri dari 40 jam kerja (alias satu hari 8 jam kerja). Orang bergaji bulanan itu biasanya dihitung man-month; apapun tugas yang harus diselesaikan, bayarannya sekian dan dibayarkan hanya sekali dalam satu bulan. Kalau pesepakbola profesional di Inggris Raya sana, gajinya per pekan. Tidak ada bedanya, yang satu per pekan, satunya per bulan.

Nah, part-time sesungguhnya adalah separuh waktu kerja. Kalau di kantor tersebut 40 jam kerja untuk full-time, maka part-time-nya 20 jam. Kalau satu bulan untuk full time adalah 20 hari, maka part-timer-nya 10 hari. Intinya, dan untuk mudahnya, biasanya dihitung 50% saja dari full-nya.

Bagaimana dengan freelancer? Nah, freelancer itu dihitung per pekerjaan. Misalnya, handle Instagram account, posting 8x sebulan, harga Rp1,5 juta. Ini bukan berarti gajinya Rp1,5 juta per bulan, tetapi kliennya membutuhkan 8 post per bulan, dan itu nilainya adalah Rp1,5 juta. Apakah dia mengerjakan dalam 2-3 hari saja, ya hargaya akan sama.

Bagaimana supaya harga tersebut bisa naik? Ya dia harus menambah klien baru.

Kelebihan freelancer adalah dia bisa menambah klien baru dengan mengambil waktu bekerja dia sendiri. Katakanlah dia bisa menggulung proyek 8 post tersebut dalam 2 hari saja, maka dalam sebulan masih sisa 18 hari kerja, donk?!

Jadi dia harus memasarkan layanan tersebut untuk mendapat klien-klien baru. Jika berhasil dan waktu bekerjanya dalam sebulan penuh dapat terokupansi, maka dia bisa dapat hingga Rp15juta. Yaitu, 1,5 juta x 10 klien.

Persoalan dengan part-timer adalah, misal full-timer untuk posisi yang sama, dengan level experience dan senioritas yang sama bergaji Rp8juta (20 hari kerja, 8 jam sehari). Maka part-timer tersebut “hanya” mendapat Rp4juta (20 hari kerja, 4 jam sehari).

Tentu, dengan sisa waktu kerja 4 jam sehari (8 jam – 4 jam), si part-timer tersebut punya pilihan untuk menambah pekerjaan berbasis waktu lagi, atau dia bisa memasarkan portfolionya, layanannya, atau dirinya untuk mendapat proyek-proyek sejenis yang dia kerjakan di kantor.

Apakah part-timer atau freelancer layak mendapatkan apa yang didapat oleh full-timer? Semisal Tunjangan Hari Raya (THR).

Menurut Direktur Pengupahan di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), semua jenis pekerja wajib mendapat THR. Baik itu alih daya (outsource), tenaga lepas (freelance), maupun paruh waktu (part-time). Semuanya berhak mendapat THR.

Bagaimana dengan fasilitas-fasilitas dari perusahaan, di luar THR? Semisal asuransi kesehatan.

Pendapat saya, yang demikian perlu dikembalikan kepada pekerja yang bersangkutan. Tentunya banyak faktor harus dipertimbangkan, ya. Artinya si pekerja sendiri membutuhkan atau tidak. Kemudian berapa banyak manusia yang ditanggung oleh si pekerja itu sendiri (misal, orang tua, istri, anak, dst.). Lalu ada faktor keterdesakan dalam menerima tawaran kerja tersebut. Apakah harus diambil saat itu juga karena membutuhkan uang, atau masih bisa ditunda demi mendapat penawaran pekerjaan yang lebih menarik.

One comment

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.