Apa Iya Kamu Mau Menikah?

Jangan-jangan lebih menarik S2 daripada menikah?

Saya ini orangnya suka membanding-bandingkan. Bukan untuk tujuan menilai negatif pada orang lain. Sekedar hobi meriset saja. Memikirkan yang mungkin belum tentu dipikirkan oleh orang lain.

Kaitannya dengan menikah, judul di atas hanya untuk provokasi saja. Tentu saja kita semua mau menikah. Jadi bukan soal mau atau tidak mau. Bukan pula soal kapan. Ada yang sudah tahu kapan akan melangsungkan prosesi akad. Seperti saya bilang, tulisan ini bukan untuk memprovokasi supaya tidak menikah. Hampir tidak mungkin ‘kan ya. Karena saya sendiri menikah. Tapi tulisan ini soal “dengan siapa kamu akan menikah?”.

Jadi buah dari pertanyaan saya ini kadang-kadang melampaui batas juga. Saya tidak bermaksud melangkahi konsep jodoh sebagai takdir yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari itu. Melainkan jawaban dari pertanyaan ini mungkin bisa jadi rujukan untuk kamu yang mungkin belum ada calon suami/istri. Sehingga bisa merumuskan dan menetapkan kriteria-kriteria untuk calon partner hidup kamu.

Kalau sudah punya calon? Ya diteruskan dong. Disegerakan menikahnya. Apalagi ketika menikah sudah menjadi kewajiban. Yaitu sudah dewasa, sudah memiliki pendapatan sendiri (sesuai target), serta untuk menghindari fitnah dan kekejian lain yang mungkin timbul manakala belum menikah (juga).

Oke, cukup putar-putar tidak jelasnya, hehe. Mari langsung ke intinya saja.

Sejauh ini kesimpulan saya adalah bahwa pasangan calon suami istri tersebut, setidaknya memiliki kesetaraan dalam tiga hal. Yaitu (tingkat) pendidikan, (kelas) ekonomi, dan keagamaan. Saya pilih kata kesetaraan karena memang yang dihindari adalah kesenjangan (gap). Memang bisa dilakukan bridging the gap, tapi you know lha kalau semua ada batas-batas kemampuannya.

Pendidikan

Kalau tingkat pendidikan yang ditempuh tidak sama, salah satu bisa meremehkan pendapat pasangannya. Kasusnya baru terjadi ketika ada yang sarjana, dan ada yang tidak sarjana. Kalau satunya sarjana, terus yang satunya master, doktor, bahkan profesor, saya kira tidak akan terjadi. Tapi harus diakui bahwa terjadi kesenjangan lebar akibat dari proses pendidikan yang berbeda 4 tahun tersebut.

Finansial

Laki-laki itu pada dasarnya egois. Maunya menang sendiri dan menang terus. Suatu fase dalam hidupnya, misalnya, istrinya berpendapatan lebih tinggi, kemudian harga dirinya akan terusik. Namanya manusia sebagai makhluk emosional, ya bukan mencari jalan keluar supaya income-nya lebih besar, eh malah sibuk mengekspresikan gap (kesenjangan) tersebut melalui kemarahan dan kegelisahan.

Tentu tidak semuanya seperti itu. Ini ada contoh lain.

Yang satu, terlalu takut berinvestasi, karena merasa belum sanggup membeli rumah. Yang satunya berpikir, kita beli rumah sekarang saja, meski membebani pengeluaran, setidaknya kita sudah mengunci harga di depan. Daripada membiarkan harga rumah membumbung tinggi tidak terkejar oleh kenaikan gaji.

Masih banyak contoh-contoh lain yang berakar dari kesenjangan pola pikir terkait finansial.

Agama

Dalam Islam, kita itu ada batasnya mengamalkan ajaran-ajaran agama. Yaitu sampai dengan wafat. Setelahnya, tidak lagi bisa mendapat pahala lewat amalan ibadah. Kecuali tiga hal.

  1. Shodaqoh jariyah,
  2. Ilmu yang bermanfaat, dan
  3. Anak yang shalih.

Kita semua butuh yang nomor tiga, sebagaimana kita butuh dua nomor yang lainnya. Namun mendidik yang nomor tiga, tidak pernah mudah. Karena pendidiknya tidak bisa seorang diri. Minimal berdua. Nah, sulit kalau di antara keduanya ada kesenjangan yang signifikan.

Kalau salah satu adalah kurang atau terlalu shalih/shalihah dibandingkan dengan yang satunya, bisa jadi kita akan kasihan sama dia atau sama pasangannya. Kesenjangannya bikin salah satu atau keduanya menjadi tidak nyaman.

Kira-kira begitu ya. Jadi kesenjangan dalam hal agama juga jangan terlalu jauh.

Selanjutnya, mari bicarakan yang lain, yuk.

Kita ini manusia. Kita punya pikiran dan perasaan. Kalau menikah hanya untuk senang-senang seksual dan meneruskan keturunan, kita tidak ada bedanya dengan (maaf) binatang. Itu sangat primary. Padahal kita manusia perlu lebih dari itu. Perlu tambahan pikiran dan perasaan. Sebab itu harus ada cinta dalam pernikahan. Bukan cinta sebagai sebuah kata benda. Melainkan cinta sebagai sebuah kata kerja.

Misalnya, harus ada yang mengalah. tidak melulu si istri sih. ini di pernikahan orang tua saya, si istri (ibu saya) lebih banyak mengalah. kalau tidak mengalah, bukan tidak mungkin (istilah yg banyak dipakai komentator sepak bola) bubar. Alhamdulillah ibu tetap dan selalu sabar. Mudah-mudahan saya bisa banyak meniru beliau.

Kalau kamu tidak mau mengalah, bahkan merasa terpaksa, mungkin kamu perlu mempertanyakan apakah kamu masih cinta atau tidak?

Sebagai suami, saya juga jadi belajar untuk mengalah. Bahasa Inggrisnya, sing waras ngalah (hehehe). Ini adalah strategi jangka panjang para suami, biasanya. Kalau kita berusaha memenangkan adu ngotot saat ini, kita bisa kalah (baca: berpisah) ujung-ujungnya.

Ini ada quote bagus. Quote-nya mendeskripsikan banget bahwa jangan mengejar menang sesaat saja. Tadinya saya tidak tahu ini quote siapa. Tapi ternyata ini adalah quote dia si bapak Presiden Amerika Serikat yang terpilih di pemilihan umum tahun ini (tahun 2016).

Sometimes by losing a battle, you find a way to win the war.

Menikah itu dengan trust. Tapi bukan sembarang trust. Which is, trust with clear expectation.

trust without clear expectation = failed. Supaya tidak failed, lakukan komunikasi. Aku maunya begini. Kamu maunya bagaimana. Apa bisa kita komunikasikan dan sinkronisasikan. Mari kita setting ekspektasi kita supaya tidak melukai satu sama lain, dst. Trust bukan berarti kita berharap begitu saja. Melainkan ada tingkat ekspektasi yang harus kita atur juga. Supaya kalau kecewa, ya tidak kecewa-kecewa amat lha. Pun kita juga tahu harus melakukan apa bila ekspektasi tidak terwujud.

Menikah untuk bahagia? Tentu saja. Jangan (dulu) menikah bila malah sengsara yang engkau dapat. Lebih baik tunda (sementara) menikahnya. Kita tetap bisa bahagia kok, meski belum/tanpa menikah.

Teman saya ada cerita tentang rasanya menikah. Dia dahulu hanya tahu, peduli, dan suka sama namanya sepakbola. Semua tentang sepakbola. Main game Winning Eleven di Playstation. Main futsal. Main sepakbola di lapangan besar. Nonton klub kesayangan, domestik atau internasional. Dan seterusnya, dan sebagainya. Pokoknya semua yang berkait sama sepakbola adalah sangat-sangat menyenangkan.

Ternyata dia menyesal waktu dia menikah. Kenapa menyesal? Karena ternyata menikah itu lebih menyenangkan daripada segala hal yang terkait dengan sepakbola. Dia menyesal, karena memang menyenangkan, mengapa tidak menikah dari dulu? Hehehe.

Until Both Your Head and Your Heart Say “Yes”

Untuk kamu para pria, saya ingatkan kembali. Cinta itu kata kerja. Jadi memang harus selalu dilakukan dan diperjuangkan. Bukannya selesai begitu kita sudah salaman sama si bapak Mertua di akad pernikahan. Justru, kita para pria harus setidaknya memberikan kehidupan yang (minimal) persis sama dengan apa yang dialami oleh sang putri. Baik dimensi finansialnya, keagamaannya, dan dimensi-dimensi lainnya.

Mudah-mudahan bermanfaat.

http://jihandavincka.com/2014/05/02/will-you-still-love-me/

Related Post(s):

2 Comments

Leave a Reply Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  1. Aku sepakat soal cinta sebagai kata kerja. Tadinya aku percaya bahwa ternyata gak butuh cinta untuk menikah. Buktinya banyak orang saling mencintai tapi tidak berujung di pernikahan.

    Ternyata setelah kupikir2 lagi, perasaan cinta itu belum sampai di tahap untuk mau melakukan apa saja untuk mempertahankan cinta mereka. Masing2 mereka mudah menyerah untuk berjuang sama2.

    Jadiii yang dicari pasangan yang mau sama2 berjuang ya kang ☺☺

    • Betul, kak. Setuju banget. Cinta itu kata kerja. Selain itu, ada pula yang memberikan nasihat ke saya, “Menikah itu soal berani mengalah”. “Mengalah” seperti biasa saja kesannya, padahal “berani mengalah” ya tidak mudah ternyata.

Exit mobile version
Verified by MonsterInsights